Diberdayakan oleh Blogger.

Orang-orang perkasa di rimba benda-benda….

10.11.07

/* hilangkan navbar ----------------------------- */ #navbar-iframe { height:0px; visibility:hidden; display:none }

Entah kenapa, sesekali saya masih saja terbius dengan mal dan segala kenyamanannya. Suatu hari saat sedang liburan di Jokja, saya menjemput istri seusai kuliah. Matahari tepat di atas ubun-ubun ketika kami berada di jalanan yang semrawut dan panas. Tidak ada tempat lain selain mal yang sejuk di sebuah ruas jalan di Janti. Istriku menawarkan untuk mampir, “Ayolah, sekedar menghindar dari panas matahari, menanti sore sambil membaca-baca buku”.

Saya ingat guyonan seorang teman. Seorang aktifis yang sering turun ke jalan demonstrasi menentang kapitalisme dan segala keturunannya. Suatu ketika ia kepergok jalan-jalan di mal dan menikmati ayam goreng panas racikan pak kolonel Sanders. Ketika disindir, dengan cuek ia menjawab, “Saya sedang menyusup ke sarang musuh kok.”

Kembali ke mal. Saya tidak bisa menolak, karena nyatanya di tengah panas yang membakar kulit di manakah tempat yang sejuk dan nyaman selain di mal? Saya mengiyakan kata-kata istri saya, masuk ke kotak beton raksasa yang membius banyak orang itu.

Kami berjalan menuju toko buku, melewati gerai-gerai berjejer, beraneka rupa benda berjejal di ruangan kaca, serta para penjaga yang menyapa dengan kata-kata dan intonasi yang khas,”Mari mas mbak. Silahkan masuk. Lihat-lihat juga boleh. Ada diskon khusus untuk produk celana”. Ramah tapi kikuk. Barangkali ia lelah mengucapkan kata-kata itu seharian. Saya baru tersadar, beberapa kali masuk mal ternyata sekian deret gerai yang ada seperti sebuah panggung kecil di mana para penjaganya mengucapkan kata-kata dengan cara, intonasi dan mimik muka yang terlatih dan nyaris sama.

Setelah puas membaca-baca buku (dan seperti biasanya tidak terlalu berminat untuk membeli), saya dan istri bergegas turun. Kami melewati sebuah gerai makanan terkenal dengan logo atap gubuk berwarna merah. Berjam-jam di ruangan yang dingin membuat perut lapar. Saya melirik dan menelan ludah. Dan gerai itu memang seperti magnet bagi setiap orang. Segala macam logika dan resistensi yang pernah muncul dalam kesadaran bahwa gerai makanan tersebut adalah salah satu produk kapitalisme sirna seketika. Yang ada adalah bahwa makanan yang disajikan benar-benar enak dan duduk di dalam ruangan tersebut adalah sebuah kenyamanan tersendiri.

Kami pun masuk, sambil menabalkan kata-kata Sun Tzu sebagai pembenaran dalam hati; untuk menang, kita harus mengenal karakter musuh. Dan sungguh, hanya keheranan yang saya rasakan. Di depan pintu, seorang perempuan muda seperti sudah di program dengan lancar berkata,” Selamat siang mas mbak. Silahkan pilih tempat duduk.” Dan baru beberapa detik saya duduk, seorang perempuan menghampiri kami dan berkata nyaris tanpa ekspresi,“ Selamat siang. Silahkan pilih menu. Jika sudah selesai, rekan kami akan mengambil catatan dan pesanan akan siap 15 menit kemudian. Terimakasih.” Saya bengong dan yakin, kata-kata itu yang ia ucapkan setiap hari.

Selesai makan, saya sudah tidak takjub ketika perempuan yang tadi berdiri di depan menyambut kami mengucapkan terimakasih atas kunjungan kami dengan intonasi dan nada yang sama persis ketika kami masuk tadi. Sebaliknya dalam hati timbul rasa iba karena sekali lagi saya merasa ia seperti robot yang sudah di isi program untuk mengucapkan kata-kata.

“Beli perlengkapan mandi dulu.” Kata istriku dengan lembut sambil menggandeng tanganku menuju sudut yang lain, sebuah gerai dengan logo khas. Di gerai swalayan asal perancis itu, orang-orang berjubel. Sibuk memilih atau hanya sekedar melihat-lihat benda yang dipajang. Beragam ekspresi, rupa dan tingkah, bercampur dengan suara riuh .Tiba-tiba pandangan saya tertumbuk pada seorang lelaki berseragam kuning hijau. Di antara riuh orang dan tumpukan benda, ia sibuk mengepel dan mengelap lantai bekas injakan orang, termasuk jejak kakiku dan istriku. Kadang ia jongkok, sementara disekelilingnya orang-orang berjubel atau berjalan dengan cuek, seakan menganggap lelaki berseragam kuning hijau tersebut bukan siapa-siapa. Istilah Arabnya wujuduhuu ka ‘adamihi, “ adanya seperti tidak ada..”.

Saya jadi ingat gambar kartun jaman pergerakan seperti yang pernah muncul di buku-buku sejarah; seorang pribumi yang menggosok sepatu seorang Belanda. Lalu beragam pertanyaan muncul dalam pikiranku; Bagaimana lelaki ini memaknai pekerjaannya? Berapa penghasilannya? Cukupkah penghasilannya untuk membeli beberapa barang di mal ini? Pertanyaan yang lebih jauh lagi muncul dalam benak saya; siapkah ia sebenarnya melakukan pekerjaan profesi itu? Bagaimana perasaannya jika suatu ketika bertemu dengan tetangga yang mempunyai pekerjaan dan berpenghasilan lebih layak sedang memborong begitu banyak barang, sementara ia sendiri bekerja demi menyambung hidup sehari-hari atau memang tidak ada pilihan pekerjaan lain? Jika perempuan yang di warung gubuk merah tadi di program untuk berkata-kata, lelaki ini seperti diprogram untuk bekerja dalam diam. Tidak ada perintah untuk berinteraksi dengan orang lain. Perintahnya mungkin hanya satu,”Bersihkan lantai bekas diinjak para pengunjung sebersih mungkin!...”

Memang tidak ada sebuah pekerjaan yang hina atau rendah, kecuali jika pekerjaan itu merugikan atau mengambil hak orang lain. Tukang pel bukanlah jenis pekerjaan hina. Tetapi, kapitalisme adalah pihak yang paling jago dalam hal membuat suatu pekerjaan dan segala jenis aktifitas manusia tidak lagi berdimensi manusiawi. Segalanya diukur dengan uang dan simbol, juga status. Kapitalisme juga yang membuat budaya interaksi langsung antar personal yang berpotensi menyerap pengetahuan, kultur dan potensi antar individu tereduksi menjadi sekedar siapa bisa menghasilkan apa dan siapa bisa membeli apa. Proses pembelajaran sosial menghilang, digeser oleh hubungan-hubungan fungsional belaka. Pekerja pabrik yang di larang berbicara saat jam kerja adalah contoh dari hubungan fungsional tersebut.

Mal adalah tempat yang lebih lengkap untuk melihat fenomena terkikisnya dimensi manusiawi. Di mal sifat individualistis seseorang tertanam ketika seseorang diharuskan memilih benda sendiri. Tidak ada interaksi antara penjual dan pembeli, yang ada hanyalah siapa mengambil apa dan membayar berapa. Di mal, segenap potensi dan kepribadian seseorang dikalahkan oleh gemerlapnya gengsi dan simbol. Masyarakat modern, menurut kang Adorno dari mazhab Frankfurt (beda dengan mazhab sunni atau syiah, hehe..), adalah masyarakat komoditas, yaitu masyarakat yang larut dalam kesenangan membeli, dan celakanya tujuan mereka membeli benda-benda itu bukan benar-benar karena fungsinya, melainkan untuk memuaskan hasrat akan status dan simbol. Makan ayam goreng racikan kolonel Sanders adalah status tersendiri meski rasanya mungkin kalah dengan racikan nyonya Suharti ( saya hanya berani menggunakan kata “mungkin” karena bukankah lidah tiap orang berbeda?)Suasana berbeda akan kita rasakan ketika kita berbelanja di pasar tradisional. Sambil menyiapkan sayur, bumbu atau barang-barang lain yang kita beli, biasanya simbok penjual dengan halus dan medok bertanya, “daleme pundi mas? (rumahnya mana mas)?” Lalu mengalirlah obrolan khas pasar dengan simbok penjual bumbu atau dengan pembeli lainnya. Obrolan seperti itu mempunyai tujuan ganda; bagi simbok penjual bumbu mengobrol adalah untuk menjaga hubungan dengan langganan dan bagi pembeli agar mendapat pelayanan memuaskan. Tetapi ada tujuan yang lebih bernilai, yaitu sebagai sarana untuk saling mengenal atau bahasa jawanya “nambah sedulur” (menambah saudara). Dan sejarah membuktikan beberapa peradaban besar dunia terbentuk dari budaya jual beli dan perdagangan yang menganut prinsip interaksi langsung antar manusia dan kebudayaan yang berbeda-beda, dan bukan jual beli model swalayan. Kemajuan peradaban Eropa dan Asia mendapat sumbangsih dari Jalur Sutera yang legendaries itu, begitu juga peradaban Timur Tengah kuno yang terhubung karena keuletan para “pedagang jarak jauh” (saya terjemahkan dari istilah seorang sarjana Sosiologi Agama Khaldoun Salman: long distance trader, hehe..) yang menghubungkan Arab, Mesir, Syiria, Yaman dan sekitarnya. Di Nusantara, kebesaran Majapahit bukan hanya terbentuk dari kekuatan militer, melainkan juga dari ekspansi dagangnya.

Fenomena di mal hanyalah contoh dari sekian pola hidup masyarakat modern yang berada dalam ruang konsumen (consumer space), setelah sebelumnya berada dalam tahapan ruang budaya (culture space) dan ruang politik (political space). Fenomena ruang konsumen berhubungan dengan ruang elektronik (electronic space), di mana terjadi pereduksian interaksi tatap muka. Ujung-ujungnya, tidak ada lagi communal property atau communal space, berganti menjadi individual property dan individual space. ATM, handphone, internet dan (sekali lagi) mal adalah penopang fenomena tersebut.

Tukang pel dan perempuan penjaga gerai gubug merah adalah komponen-komponen kinetik yang menggerakkan sebuah mesin penghasil uang bernama mal. Mereka seperti sudah di program untuk melakukan sebuah fungsi, bukan aktualisasi. Interaksi yang ditunjukkan oleh perempuan penjaga gerai adalah interaksi semu dan basa-basi. Dan kesendirian tukang pel adalah sisi gelap dari hiruk pikuk budaya mal dan jual beli masyarakat modern. Mereka adalah korban yang terjebak dalam lingkaran setan yang tak terputus-putus, dimulai ketika berpuluh-puluh mal di bangun, menghabiskan berhektar-hektar lahan pertanian produktif, mematikan pasar tradisional dan menghancurkan usaha-usaha kecil, membuat orang terbelit kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi dan membuat anak-anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikan yang lebih baik. Pada akhirnya mereka yang kalah akhirnya harus tahu diri untuk sekedar menjadi pemungut remah-remah dan pelayan bagi tetangga mereka sendiri. Dan begitulah seterusnya.

Dalam perjalanan pulang, saya tidak bisa melupakan wajah perempuan dengan intonasi suara yang khas di depan gerai gubuk merah. Juga lelaki tukang pel di tengah kerumunan orang memburu benda-benda. Mereka adalah orang-orang yang merasakan bagaimana pahitnya dinistakan globalisasi sebagai sebuah fenomena dan kapitalisme sebagai sebuah sistem, meski mungkin tanpa mereka sadari. Jika saya dan orang-orang yang masih saja mengagungkan benda-benda, simbol dan status adalah pihak yang lemah dalam mengendalikan kesadaran untuk tidak terjebak dalam budaya konsumtif, tukang pel dan penjaga gerai adalah orang-orang perkasa yang setiap hari harus berjuang melawan keterasingan dalam sebuah kotak mesin yang mematikan segenap potensi dan hakekat mereka sebagai manusia.

Dan sore itu, pergi ke mal menjadi sebuah kontemplasi yang menampar muka sendiri, sekaligus mendapat pembenaran dari kata-kata Gunawan Muhammad tentang ketidakberdayaan masyarakat modern yang hidup ditengah kepungan mal untuk menghindar dari segala kenyamanan dan gemerlap simbol yang ditawarkannya,”…memang sulit. Memang sulit…”

1 komentar:

Anonim Sabtu, 10 November, 2007  

Situ juga sering ke mol kan?...hayo ngaku

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP