Diberdayakan oleh Blogger.

Perkenalkan : Kiai Selebriti…

23.2.08

Beberapa waktu yang lalu, bertepatan dengan peringatan tahun baru Islam, seorang dai muda yang sedang ngetop tampil menjadi bintang tamu dalam sebuah acara infotainment -lebih tepatnya acara gosip selebriti- di salah satu stasiun televisi swasta. Sang dai muda berbincang-bincang dengan dua orang artis pembawa acara yang memakai busana seadanya, menerangkan makna hari besar Islam sambil sesekali menyitir ayat suci. Ironisnya, sang dai hanya muncul sekilas, lalu setelah itu dua artis tadi pun kembali bergosip seputar perselingkuhan, kawin cerai dan hal-hal remeh lainnya.

Ada rasa prihatin yang muncul saat melihat acara itu. Keprihatinan yang bermuara pada semakin seringnya agama dijadikan sebagai pemanis hal-hal yang profan dan cenderung dikomersialisasikan. Jika bukan melalui pertarungan simbol-simbol dalam perebutan kekuasaan, agama diubah menjadi “primadona baru” dalam hingar bingar industri hiburan.

Saya menyebut sang dai muda tersebut sebagai kiai selebriti. Ada dua alasan mengapa saya memakai istilah tersebut. Pertama, mereka adalah kiai yang muncul di tengah kemajuan teknologi informasi dan dengan cepat menjadi idola dan figur (panutan?) baru di masyarakat. Mereka yang semula hanya dikenal dan berpengaruh di lingkungan sekitarnya, tiba-tiba menjadi sedemikian terkenal ke luar komunitas dan masyarakatnya karena memanfaatkan (atau dimanfaaatkan oleh) teknologi informasi.

Kedua, istilah kiai selebriti ditujukan kepada mereka yang hanya mengambil spesialisasi berdakwah di kalangan selebriti, baik artis atau pesohor lainnya. Mereka kemudian berperilaku dan bergaya hidup sebagaimana selebriti dengan alasan mempromosikan agama dan mengangkat citra agama itu sendiri. Pada tahun 1990-an, kita pernah mengenal istilah kiai BMW, kiai Pajero dan julukan lain yang mengasosiasikan bahwa kiai kini tidak lagi identik dengan sarung dan kopiah lusuh.

Fenomena kiai selebriti mulai muncul ketika industri hiburan –terutama di televisi- mulai melakukan ekspansi ke dalam ranah agama. Lalu agama pun lebur menjadi sebuah komoditi, “dijual” dalam acara-acara ceramah yang menonjolkan tangis dan ajakan untuk pencapaian keuntungan spiritual pribadi. Momen-momen keagamaan seperti Ramadhan, Lebaran dan Natal yang sakral pun diubah menjadi hiburan atau momen untuk menjual produk tertentu. Belum lagi maraknya tayangan sinetron mistik dengan kemasan agama demi keuntungan rating dan iklan belaka.

Jauh sebelum kiai selebriti muncul, ada juga jenis kiai birokrat. Munculnya kiai jenis ini sudah setua usia agama itu sendiri. Dengan otoritas keagamaan dan pengaruhnya, mereka berselingkuh dengan penguasa kepentingan pribadi, meringkuk dengan nyaman dalam jaring-jaring kekuasaan. Kiai jenis ini hanya menjadi corong pembenar kebijakan penguasa, lebih sibuk mengawasi sah tidaknya ibadah seseorang tetapi gagal berperan dalam problem-problem yang menyangkut kemaslahatan umat seperti penyelewengan kekuasaan dan kemiskinan.

Tentu tidak ada yang salah ketika ada kiai tampil di televisi dengan dandanan necis dan gaul atau ketika ada kiai yang hobi keluar masuk istana dengan memakai jas berlogo partai. Kesalahan terbesar dari para kiai adalah dengan ilmu yang mereka miliki hanya mengurusi ruang privat agama dan melupakan dimensi sosialnya. Mereka menganggap tugas mereka selesai setelah mengajarkan tata cara wudlu, syarat sahnya sholat atau bagaimana cara mendapat pahala ibadah sebanyak-banyaknya tetapi mengabaikan nasib umat mereka yang dihimpit kesulitan hidup.

Nabi dan kitab suci mengajarkan bahwa misi utama agama adalah sebagai spirit yang menggerakkan kesadaran dan tindakan umatnya untuk mewujudkan nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti solidaritas, kesetaraan, anti diskriminasi dan keadilan sosial. Orang-orang yang dipercaya Tuhan untuk menyampaikan ajaran-ajaran-Nya adalah mereka yang sangat mengagungkan nilai-nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Nabi Muhammad adalah nabi yang peduli pada kaum lemah (mustadhafin). Spirit perjuangannya berasal dari refleksi atas kondisi masyarakat Arab yang saat itu lebih mengutamakan harta dan kekuasaan tetapi mengabaikan prinsip solidaritas dan kesetaraan. Isa dikenal karena cinta kasihnya kepada orang yang lemah dan tertindas dan Sidharta Gautama berkelana dalam perjalanan spiritualnya karena tidak tahan hidup mewah di istana sementara rakyatnya sendiri banyak yang menderita.

Setelah para nabi dan orang suci tidak ada, tugas dan peran mereka diwariskan kepada orang-orang yang mempunyai kemampuan intelektual dan spiritual yang istimewa di banding kaum awam, dalam hal ini adalah kiai, pendeta, romo, biksu, dan sebagainya. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad menegaskan bahwa ulama adalah “pewaris nabi”, yang berarti tugas dan peran Nabi sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat sudah seharusnya melekat pada diri seorang ulama.

Jadi jika tugas kenabian yang dijadikan patokan, seorang ulama atau kiai tidak hanya bertanggungjawab untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi sekaligus harus berperan aktif dalam mengatasi problem-problem sosial yang dihadapi oleh umat seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas dan korupsi. Kerja-kerja kemanusiaan tersebut pada hakekatnya adalah untuk mengangkat derajat manusia dari lembah kehinaan menuju derajat kemuliaan. Kemuliaan disini bukan hanya dalam konteks spiritual yang bisa dicapai melalui ritual ibadah seperti sholat, zakat dan puasa, tetapi juga juga dalam konteks sosial di mana seseorang bisa hidup layak sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia.

Dan kita tahu, di negeri ini yang sebagian besar penduduknya hidup dalam kantong kemiskinan ini adalah negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Artinya, ada kegagalan dari pihak pemimpin agama untuk menyelesaikan problem sosial yang dihadapi oleh umatnya sendiri. Mereka yang menyandang predikat kiai, ulama atau dai gagal mentransformasikan misi kemanusiaan agama dalam tugas dakwah mereka, dan justru sebaliknya menutup mata dan hati mereka terhadap berbagai problem sosial tersebut.

Nyatanya, saat rakyat kecil menjerit karena kesulitan hidup, para pemimpin umat tersebut terang-terangan mengambil keuntungan dari status “kiai” mereka. Saat negara sudah hampir ambruk karena ulah para penguasa yang menyeleweng, mereka malah ikut berebut menikmati kue kekuasaan. Ada yang pintar memodifikasi agama menjadi seremoni di istana. Ada yang mempromosikan agama menjadi (sekedar) ilmu pengusir setan di televisi-televisi. Ada juga yang lihai menguras air mata umatnya dalam pelatihan-pelatihan spiritual di hotel-hotel berbintang, atau menikmati popularitas mereka sebagai seorang selebriti seperti sang dai muda dalam ilustrasi di awal tulisan ini.

Padahal di kampung-kampung kumuh di kota-kota besar atau di daerah-daerah terbelakang yang tak terjangkau pembangunan, jutaan orang-orang kecil dan lemah susah payah untuk sekedar hidup layak. Baru-baru ini, seorang penjual gorengan mati bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban ekonomi yang semakin tinggi. Kita juga masih ingat kasus Supriyono, seorang pemulung di Jakarta berpenghasilan 10.000 per hari yang harus membawa jenazah anak perempuannya dengan gerobak karena tidak mampu membayar sewa mobil jenazah, setelah sebelumnya juga tidak mampu membiayai pengobatan sakit muntaber anaknya tersebut sampai akhirnya meninggal. Inilah yang menurut seorang intelektual muda NU Zuhairi Misrawi, sebuah situasi di mana kaum agamawan gagal membangun etika sosial, yaitu etika yang memberi perhatian kepada mereka yang lemah dan dilemahkan sebagai akibat dari terlalu seringnya agama membincangkan soal etika privat (Zuhairi Misrawi, Kompas/25/6/2005).

Tentu tidak semua kiai “berkhianat” kepada tugasnya sendiri. Masih ada kiai yang konsisten membela hak-hak rakyat dan memegang teguh keyakinan bahwa misi suci agama adalah untuk membela kaum lemah dan meninggikan martabat manusia. Kiai seperti ini mengambil jarak dengan kekuasaan karena takut kekuasaan akan memanfaatkan mereka atau sebaliknya mereka tidak ingin memanfaatkan kekuasaan demi keuntungan pribadinya. Mereka lebih percaya bahwa perubahan sosial akan tercapai dengan pendekatan kultural melalui pendidikan alternatif, penguatan ekonomi kerakyatan serta pemberdayaan masyarakat kecil dan lemah. Mereka hidup khusyu di tengah-tengah orang-orang yang menderita dan terpinggirkan, menjadi sosok berteduh terakhir bagi orang-orang yang sudah terlalu lelah didera kemelaratan dan kepahitan hidup.

Akhir cerita, kita tidak ada yang tahu siapa saja kiai yang menggunakan pengaruhnya untuk melegitimasi suatu kekuasaan atau kiai yang hanya bergaul dan berdakwah di tengah-tengah gelamornya popularitas, serta berapa banyak kiai yang hidup bersama-sama di gubuk-gubuk kumuh, melayani orang yang miskin, jauh dari hingar bingar popularitas dan kekuasaan. Yang kita tahu adalah kenyataan hanya segelintir orang yang hidup mewah dan korup ditengah semakin membengkaknya jumlah orang miskin kesulitan membeli tempe dan antri minyak tanah, anak-anak yang menderita gizi buruk dan putus sekolah, mereka-mereka yang menderita karena dilemahkan dan dikalahkan oleh kekuasaan.



Read more...

Maling di Rumahku dan Potret Kecil Indonesia…

12.2.08

Hari ini saya menelpon Ibu yang tinggal sendirian di kampung saya di Boyolali. Ibu bercerita kalau beberapa hari kemarin saat beliau sedang pergi ke rumah kakak saya di Yogya, rumah kami kemasukan maling. Tidak ada barang berharga di rumah kami, selain koleksi buku dan sebuah televisi tua yang pada saat kejadian kebetulan dititipkan di rumah tetangga. Maling yang tidak beruntung itu membawa lari sebuah dandang (tempat memasak nasi/air) dan sebuah panci kecil di dapur.

Ibu melaporkan peristiwa tersebut ke kepala desa karena kemalingan di rumah kami sudah terjadi beberapa kali. Sebelumnya, maling berhasil menjebol atap dan mengambil beras persediaan sehari-hari. Nasib serupa juga dialami beberapa tetangga yang kehilangan televisi dan benda berharga lainnya.

Namun ternyata tindakan Ibu sebagai warga yang ingin mendapat keadilan dari pemimpinnya itu tidak mendapat jawaban atau pelayanan semestinya. Pak Lurah malah berkata,” Lha apa saya harus mengganti dandang dan pancinya?! Apa saya harus mengawasi rumah panjenengan (anda) setiap malam?! Panjenengan itu sendiri yang harus waspada agar tidak ada maling masuk..”

Mendengar jawaban pak Lurah yang tidak semestinya itu ibu saya –yang “hanya” tamatan SD tetapi sampai saat ini masih tercatat sebagai ketua Muslimat (organisasi wanita NU tingkat kecamatan) dan aktif di beberapa organisasi masyarakat di kampung- balik berkata,” Saya itu tidak minta dandang saya di kembalikan. Saya hanya minta kamu sebagai pemimpin bertanggung jawab atas keamanan wargamu”.
Mendengar cerita ibu saya soal maling itu saya merenung. Kehilangan dandang dan panci tentu saja adalah perkara kecil. Tetapi masalah yang lebih besar bagi saya adalah tanggapan pak Lurah terhadap laporan Ibu saya yang mencerminkan model pemimpin yang tidak mau peduli terhadap persoalan yang dihadapi warganya. Pemimpin yang gagal memenuhi tanggungjawabnya, dalam hal ini tanggungjawab untuk menjamin rasa aman pada diri seluruh warganya.

Ironisnya, rumah pak Lurah terletak di belakang rumah saya. Artinya pak Lurah tersebut gagal total dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang pemimpin karena tidak peduli pada potensi gangguan keamanan terhadap warganya, bahkan ketika hal itu terjadi di depan matanya sendiri.

Sekedar cerita, pak Lurah di kampung saya tergolong masih muda. Sebelum jadi lurah ia bukan tipe orang yang suka bersosialisasi di masyarakat. Ia jarang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di kampung. Warga lebih mengenalnya sebagai seorang paranormal yang laris dan hampir tidak pernah keluar rumah. Setiap hari rumahnya selalu dikunjungi banyak orang yang ingin mencari peruntungan, mulai dari yang bermobil mewah sampai yang datang naik ojek. Lalu ketika waktu pemilihan kepala desa, ia sibuk meminta dukungan, berkeliling ke rumah-rumah warganya. Konon ia menghabiskan duit ratusan juta rupiah dalam pilkades, dan akhirnya hanya menang tipis dari lurah lama yang terbilang cukup sukses dan dicintai warga selama masa kepemimpinannya.

Belakangan, warga mulai menyangsikan kemampuan pak Lurah ini untuk memimpin desa kami. Selain soal keamanan desa yang mulai terusik, warga juga mempermasalahkan kesibukannya sebagai seorang paranormal mengalahkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala desa. Di desa kami ada guyonan bahwa balai desa saat ini bukan lagi tempat untuk melayani masyarakat dan menjalankan roda pemerintahan desa, tetapi sudah menjadi tempat praktek perdukunan.
Pak Lurah ini juga bahkan sering membuat blunder yang merusak citra dan kepercayaan warga. Ada satu kejadian yang kebetulan saya saksikan sendiri. Ceritanya, pasca pilkades bulan Februari 2007, desa kami terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu mantan Lurah dan kubu Lurah baru. Sampai saat ini ini pak Lurah tidak bisa meredam konflik tersebut dan justru dia sendirilah yang membuat suasana semakin panas. Nah, saat saya sedang liburan di kampung, saya mengikuti acara selamatan di rumah tetangga. Kebetulan dalam acara tersebut hadir para sesepuh dan tetua desa yang berseberangan dengannya. Pada saat itu pak Lurah meminta warga untuk bersatu kembali dan tidak mempeributkan siapa yang menang dalam pilkades.

“Jadi saya selaku kepala desa meminta warga untuk bersatu kembali. Tidak usah ada kubu-kubuan. Terutama pesan saya ini saya tujukan kepada para sesepuh, mohon ikut menjaga situasi agar rukun dan damai. Setuju tidak mbah Pur?” Tanya pak Lurah meminta konfirmasi dari mbah Pur, salah seorang tokoh desa kami yang bersebarangan dengannya. Blunder terjadi ketika tokoh yang ditanya tidak menjawab karena memang sedang ada perang dingin diantara keduanya.

Pak Lurah pun naik pitam dan berkata,”Semoga panjenengan tidak mendengar selamanya”. Sontak seluruh warga yang hadir pun kaget dan berguman mendengarkan reaksi pak Lurah yang sama sekali tidak bijaksana itu.

Begitulah jika seorang pemimpin berasal dari produk karbitan. Pemimpin yang tidak tahu bagaimana cara memetakan dan mengurai problem sosial kemasyarakatan yang dihadapi warganya. Pemimpin yang ingin dipandang dari jabatannya, namun ia sendiri tidak bisa menunjukkan rasa hormat dan penghargaannya kepada rakyatnya sendiri. Alih-alih menjadi tokoh pemersatu, ia bahkan menjadi sumber konflik itu sendiri. Pemimpin yang tidak bisa memberikan solusi, suka melemparkan kesalahan kepada orang lain karena memang sama sekali tidak tahu apa yang harus dia kerjakan.

Apa yang terjadi di kampung saya adalah potret kecil dari situasi yang terjadi di negeri ini. Pemimpin kita saat ini adalah adalah mereka yang datang dan dengan segala cara merayu warga pada saat kampanye, tetapi bersembunyi atau memalingkan muka saat rakyat membutuhkan. Jangankan menyediakan waktu untuk melihat atau mendengar keluh kesah rakyat, memikirkan nasib rakyatnya pun sama sekali tidak. Pemimpin yang hati nuraninya dikalahkan oleh ego dan syahwat kekuasaan, tetapi sama sekali tidak punya visi dan tanggung jawab moral terhadap kekuasaan yang ia pegang.

Dari cerita Ibu tentang maling dandang dan panci, dari kampung kecil di pelosok Boyolali, saya jadi sadar bahwa negeri ini betul-betul butuh pemimpin yang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar warganya, tetapi juga sekaligus menjadi sosok yang mengayomi, melindungi dan memberikan rasa aman bagi rakyatnya.

Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP