Diberdayakan oleh Blogger.

Mengaji Damai di Davao

11.6.08

Mulai tanggal 19 Mei - 6 Juni 2008 kemarin saya mendapat kesempatan mengikuti kursus peacebuilding di Mindanao Peacebuilding Institute (MPI) di Davao City, Mindanao, Philipina. Kursus yang tahun ini memasuki tahun ke-9 sejak mulai diselenggarakan pada tahun 2000 merupakan proyek kerjasama beberapa lembaga kemanusiaan internasional yaitu CRS, CAFOD dan MCC.

Saya dan teman satu kantor, Didik, berangkat dari Jakarta transit Manila untuk kemudian langsung menuju Davao City yang terletak di pulau Mindanao. Mindanao selama ini adalah ibarat ‘Aceh”nya Philipina, sebuah wilayah di sebelah selatan Philipina di mana sebuah komunitas yang menyebut dirinya sebagai Bangsa Moro sedang berjuang (memberontak???) untuk memperoleh kemerdekaannya dari Philipina. Di Indonesia, nama Mindanao atau Moro barangkali identik dengan kamp latihan teroris, di mana nama-nama “beken” dalam dunia teroris seperti Amrozi Cs, Dulmatin dan Umar Patek konon belajar membuat bom dan latihan perang di pulau ini.


Kursus yang saya ikuti ini terdiri dari berbagai macam topik atau kelas. Setiap kelas berlangsung selama 1 minggu, dan peserta diminta untuk mendaftar sesuai dengan latar belakang dan minat masing-masing. Saya sendiri mengambil kelas “Introduction to Peace Education” di minggu 1, kemudian kelas “Religion: Peacebuilding in Multicultural Society” di minggu 2, dan kelas “Formal and Informal Aprrocah To Peace Education” di minggu ke 3. Saya sendiri memilih 3 kelas tersebut karena posisi di tempat saya bekerja adalah di bidang pendidikan.

Selain memperoleh kesempatan berharga untuk “mengaji” berbagai topik perdamaian tersebut, kesempatan berharga lainnya adalah bertemu dan sharing pengalaman dengan lebih dari 130 praktisi peacebuilding dari LSM kemanusiaan internasional, perwakilan gereja, komunitas lintas agama, organisasi masyarakat sipil, akademisi, kelompok perempuan dan organisasi sipil lainnya yang mempunyai perhatian dalam proses-proses perdamaian Mereka datang antara lain dari Indonesia, Amerika Serikat, India, Thailand, Bangladesh, Kamboja, Australia, Jerman, Kepulauan Fiji dan beberapa negara lainnya.

Dari Indonesia sendiri selain saya dan teman saya dari JRS, para pesertanya berasal dari beberapa lembaga kemanusiaan yang kebanyakan mempunyai program di Aceh. Selain itu ada juga peserta dari Forum Lintas Agama Surakarta, serta perwakilan dari lembaga gereja Toraja dan Papua. Total peserta dari Indonesia lebih kurang 19 orang

Yang menarik adalah peserta dari tuan rumah. Mereka kebanyakan diwakili oleh LSM yang dibentuk oleh masyarakat Moro yang tergabung dalam Consorsium Bangsamoro Civil Society (CBCS). Selain itu, yang lebih mengesankan bagi saya adalah hadirnya peserta yang merupakan tentara dari AFP(Armed Forces of Philipine). Sejak mulai diselenggarakannya kursus ini pada tahun 2000, AFP telah beberapa kali mengirimkan para personelnya. Tidak tanggung-tanggung, kali ini mereka mengirimkan sekitar 10 tentara, yang sebagian besar diantaranya adalah perwira menengah dengan pangkat tertinggi kolonel. Di kelas IPE yang saya ikuti ada 2 orang tentara, seorang Letnan Kolonel dan seorang perwira muda berpangkat Letnan Dua. Selama proses belajar, para tentara ini sangat akrab dan membaur dengan peserta lainnya, bahkan saat menyampaikan gagasan atau komengtar selalu dengan gaya yang santun dan cerdas tanpa sekalipun menunjukkan sikap arogan dan pamer kekuatan khas ala tentara. Di Indonesia?Wallahua’lam…

Sedikit tentang di IPE
Minggu pertama di kelas Introduction to Peace Education (IPE) yang saya ambil diikuti oleh sekitar 30 orang. Metode yang dipakai seperti kebanyakan training pada umumnya, antara lain eksplorasi masalah, diskusi kelompok, presentasi dan role play. Setiap peserta diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan gagasan ataupun sharing pengalaman yang berhubungan dengan topik yang sedang dibahas.

Ide utama dari IPE ini adalah bagaimana membangun budaya damai, yaitu menumbuhkan nilai, perilaku, cara hidup yang mendukung terciptanya suasana damai. Sedangkan tujuan dari Pendidikan (untuk) Perdamaian yaitu memberikan pemahaman dan kesadaran tentang akar konflik, kekerasan dan ketidakdamaian dalam lingkup personal, interpersonal, komunitas, nasional, regional dan internasional.

Kajian utama dalam kelas IPE ini meliputi beberapa isu-isu global terkini yang dinilai bisa berpotensi menyebabkan terjadinya konflik kekerasan dalam skala besar, antara lain adalah isu tentang keadilan sosial global. Kajian ini menjadi favorit saya karena membahas tentang problem kesenjangan antara negara kaya dan miskin, hutang LN, globalisasi serta liberalisasi.
Selain itu juga kajian tentang upaya menanamkan spirit perdamaian dalam diri, di mana poin ini membahas tentang kecenderungan individu untuk berkompetisi secara berlebihan, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup, gaya hidup konsumtiv dan kecenderungan masyarakat mengalami rasa keterasingan dan kehilangan makna hidup.

Kemudian juga kajian tentang upaya melawan budaya perang dan kekerasan yang saat ini dinilai tidak saja muncul dalam bentuk kekerasan yang nyata, melainkan juga karena maraknya budaya kekerasan yang muncul lewat media seperti televisi, film dan games.

Kajian lainnya adalah tentang HAM di mana dalam konteks ini membahas tentang berbagai kasus kekerasan yang menyangkut hak sipil dan politik warga, hak ekonomi sosial budaya, kekerasan terhadap Indigeneous Peoples, kekerasan terhadap hak pengungsi, perempuan serta anak jalanan. Lalu ada juga kajian tentang upaya membangun sikap saling menghormati antarbudaya, rekonsiliasi dan solidaritas. Terakhir adalah persoalan ancaman kerusakan lingkungan dan keterbatasan sumber daya alam yang saat ini menjadi isu hangat di tingkatan global di mana kerusakan lingkungan dinilai bisa menjadi isu utama perdamaian beberapa tahun ke depan.

Dari hasil “mengaji” selama minggu pertama ini, saya bisa mendapatkan gambaran bahwa pendidikan perdamaian tidak hanya mencakup satu dimensi saja, misalnya membangun moral atau spiritual individual. Lebih dari itu, Pendidikan Perdamaian juga merupakan upaya mencegah konflik yang mungkin akan timbul dengan mengurai akar potensi konflik yang ada di masyarakat dari dimensi sosial, politik dan ekonomi dan juga lingkungan, dengan mengikuti isu lokal maupun global yang terus menerus berubah. Beberapa isu tersebut kemudian harus bisa diterjemahkan oleh para praktisi peacebuilding ke dalam berbagai macam kegiatan/program pendidikan dan penyadaran di masyarakat agar mereka mampu memahami dan mengatasi setiap potensi konflik yang ada.




Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP