Diberdayakan oleh Blogger.

Namanya Maksum...

3.12.08


Maksum. Perawakannya kecil, berkulit legam dan raut muka yang selalu riang. Gaya bicaranya yang lugu kadang menimbulkan tawa. Tanggal 28 di bulan November kemarin yang diperingati sebagai Hari Guru Nasional tiba-tiba saja mengingatkan saya pada sosok pak Maksum.

Saya mengenal pak Maksum di pertengahan tahun 2005 ketika mulai bekerja di Meulaboh, Aceh Barat, Nanggroe Aceh Darussalam. Tugas saya pada saat itu adalah menangani program pendampingan guru-guru honor di sekolah-sekolah yang terkena bencana tsunami dan sekolah terpencil yang terkena dampak konflik bersenjata. Pak Maksum adalah salah satu dari sekian ratus guru honor yang mendapat bantuan dari lembaga saya yang antara lain berupa insentif bulanan dan pelatihan peningkatan kapasitas yang berlangsung selama lebih kurang 2 tahun.


Pak Maksum mulai mengajar di sebuah SD di pinggiran Aceh Barat sejak tahun 1996. Ia tidak pernah mengenyam sekolah pendidikan guru atau bangku kuliah. Pendidikan tertingginya hanya SMA. Perkenalannya dengan dunia pendidikan lebih didasari karena kebetulan saja.

Saat itu, Aceh masih babak belur dihajar senjata dan kebencian. Banyak sekolah yang tutup atau dibakar orang tak dikenal. Pak Maksum tinggal di desa yang termasuk kawasan rawan kontak senjata di perbatasan Aceh Barat dan Aceh Jaya. Satu-satunya sekolah yang ada di desa tersebut terlantar karena tidak ada guru yang berani datang mengajar. Melihat kondisi anak-anak yang tidak bisa belajar, hati pak Maksum pun tergerak. Tanpa pengalaman mengajar sedikitpun, ia mengajak anak-anak untuk kembali datang ke sekolah dan memulai kegiatan belajar mengajar hanya dengan mengandalkan buku-buku pelajaran yang ada. Tentu saja tidak ada yang menggaji pak Maksum dan semuanya ia lakukan dengan penuh kesabaran. Pada mulanya ia sendirian sampai kemudian beberapa tentara yang bermarkas di sekitar sekolah ikut membantunya mengajar.

Situasi keamanan Aceh yang membaik setelah tsunami 2004 dan perjanjian damai Agustus 2005 membuat kegiatan belajar mengajar di sekolah pak Maksum mulai berjalan dengan normal. Ia kemudian diangkat menjadi guru honor meski dengan status tersebut pak Maksum hampir tetap tidak mendapatkan gaji setiap bulannya. Dalam sebulan ia paling banyak hanya menerima honor 20 ribu rupiah, yang ia sebut sebagai “uang sabun” karena jumlahnya yang hanya cukup buat membeli sabun. Kadang selama beberapa bulan ia tidak menerima uang sama sekali karena pihak sekolah juga tidak mampu membayar gaji.

Tetapi pak Maksum tidak pernah mengeluh. Ia juga tidak risau ketika tidak segera diangkat jadi guru pegawai negeri, meski beberapa guru honor lain yang baru mengajar di sekolahnya setelah situasi keamanan membaik langsung diangkat menjadi pegawai negeri atau guru kontrak pemerintah daerah. Beberapa kali ia pernah mengikuti tes pegawai, namun statusnya yang hanya tamatan SMA menjadi kendala baginya untuk bisa diangkat sebagai abdi negara.

“Kenapa pak Maksum tetap mengajar meski honornya sedikit? Bapak kan bisa cari kerja lain?”tanya saya suatu ketika.
“Begini pak. Dalam hadits Nabi dikatakan didiklah anak-anakmu hari ini karena kelak dia akan jadi pemimpin di masyarakat. Hanya itu yang membuat saya kuat.“jawabnya tulus tanpa sedikitpun niat menyombongkan diri. Jawabannya yang terkesan spontan namun penuh makna membuat saya merinding. Ia terbiasa memanggil saya dengan sebutan Pak meski usianya lebih tua dari saya.

Pagi sebelum berangkat mengajar, pak Maksum memasang bubu di sungai dekat rumahnya. Selepas mengajar atau menjelang magrib, dia mengambil bubu dan menjual ikan yang terperangkap untuk menambah kebutuhan sehari-hari. Namun penghasilan utama pak Maksum bukan dari menangkap ikan. Ia menyewa kebun kelapa tetangganya seharga beberapa ratus ribu rupiah. Ia mengolah kelapa menjadi kopra, hasilnya sebagian untuk membayar sewa pada pemilik tanah dan sisanya untuk kebutuhan sehari-hari. Toh, kerja kerasnya tidak cukup untuk mencukupi kebutuhannya bersama istri dan dua anaknya. Rumah papannya yang reot dan beratap rumbia baru ia perbaiki dari hasil tabungannya selama mendapat bantuan honor dari lembaga tempat saya bekerja sebesar 500 ribu rupiah setiap bulannya.

“Pak Maksum tidak dapat rumah bantuan? Bukankah desa pak Maksum juga terkena tsunami?”
“Sebenarnya desa saya tidak terkena tsunami langsung. Memang banyak tetangga yang mendapat rumah bantuan setelah mengajukan permohonan, padahal sebenarnya rumahnta tidak rusak terkena tsunami. Tapi saya sama sekali tidak punya keinginan seperti itu. Itu bukan hak saya, pak“.

Lain waktu, lembaga saya mengadakan pelatihan untuk para guru dampingan. Kami menempatkan para guru yang tinggal di luar kota Meulaboh di sebuah penginapan, termasuk pak Maksum. Hari pertama pak Maksum menolak masuk penginapan dan meminta dicarikan tempat lain yang lebih sederhana. Ia merasa tidak nyaman berada di kamar yang menurutnya terlalu bagus. Padahal kami menyediakan penginapan biasa dengan tarif kurang dari 100 ribu permalam. Pada akhirnya pak Maksum memang menempati penginapan yang disediakan meski paginya ia mengaku terjaga semalaman karena tidak biasa tidur di atas kasur pegas.

Banyak hal yang saya dapat selama lebih kurang dua tahun masa pertemanan saya dengan pak Maksum. Namun ingatan saya tentang pak Maksum bukan hanya ingatan tentang seorang guru honor biasa, melainkan seorang guru sederhana dengan semangat dan kegigihan merawat sebuah cita-cita besar —dalam hal ini generasi masa depan yang lebih baik— di tengah segala keterbatasannya.

Pak Maksum adalah potret kecil dari ribuan guru lain di negeri ini yang mendedikasikan hidupnya bagi dunia pendidikan dengan hanya bermodalkan semangat dan ketulusan meski minim keahlian mengajar atau tanpa gaji yang memadai. Namun mereka adalah guru kehidupan yang sesungguhnya, yang memaknai status guru bukan hanya sebagai profesi di kelas, melainkan juga sifat dan keteladanan yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Inspirasi dan kearifan tidak mereka tunjukkan dengan khotbah yang berbuih, perintah yang memaksa, atau kesalehan yang dibuat-buat, melainkan dari kejujuran dan kesederhanaan dalam menjalani hidup serta keikhlasan dalam menjalankan tanggungjawabnya. Dari merekalah kita hendaknya belajar...



Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP