Diberdayakan oleh Blogger.

Kisah Nur Yang Malang...

18.5.09


Namanya Nur. Perempuan yang lahir dan besar di ibukota ini berusia sekitar 25 tahun. Dalam usianya yang semuda itu, ia telah mengalami episode hidup yang begitu kelam. Episode pahit pertamanya dalam hidupnya adalah ketika suaminya menceraikan dan meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Ia pun dipaksa membesarkan tiga anaknya sendiri.

Di tengah kesedihannya, datang seorang lelaki yang kemudian menjadi awal dari episode pahit kedua dalam kehidupannya. Lelaki ini, sebenarnya lebih tepat disebut remaja tanggung, berusia sekitar 17 tahun, datang ke Jakarta sebagaimana jutaan orang lainnya yang berusaha mengadu nasib di ibukota. Mereka berkenalan, dan setelah pergaulan yang begitu dekat, Nur hamil. Mereka lalu menikah, dan sang suami memboyong Nur ke kampung. Bayangan kehidupan di kampung yang ramah begitu menggoda Nur untuk melupakan masa lalunya. Dan seakan benar-benar ingin memulai hidup baru tanpa masa lalu, tiga anaknya dari pernikahan sebelumnya diasuh oleh keluarganya di ibukota.

Belakangan, Nur seperti menyesali keputusannya menikah dengan Man, suaminya. Kehidupan kampung yang nyaman dan rumah tangga yang bahagia tinggal mimpi. Man hanyalah seorang remaja tanggung yang sama sekali seperti tidak punya minat untuk hidup berkeluarga dan masih asyik dengan dunia remajanya. Setiap hari kerjaannya hanya keluyuran, jarang pulang entah ke mana. Tapi Nur masih berusaha tabah. Untunglah mertuanya –seorang janda tua penjual bubur- begitu sayang kepada Nur, seakan menyadari bahwa anak lelaki satu-satunya belum bisa diharapkan untuk menjadi tulang punggung dan kebanggaan keluarga.

Nur lalu berusaha menyambung hidupnya dengan jualan makanan kecil di sebuah sekolah dasar di dekat rumahnya. Dalam keadaan hamil tua, setiap hari ia mengangkat kardus makanan kecil, panci berisi bubur dan makanan lainnya. Hasilnya tidak seberapa, namun sangat berarti untuk membeli kebutuhan sehari-hari ketimbang berharap pada Man yang nyaris tidak pernah memberinya uang belanja.

Pada dasarnya Nur termasuk orang dengan pembawaan yang cukup riang dan seperti mampu menyembunyikan kepedihannya. Namun Nur selalu bilang bahwa ia sebenarnya tidak kuat menghadapi perilaku suaminya. Ia bahkan sudah punya rencana, jika anaknya nanti sudah lahir, ia akan memberikan anaknya kepada siapapun yang mau merawatnya. Alasan ekonomi membuatnya tidak punya pilihan lain.

Episode ketiga dalam hidupnya. Nur melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Beberapa hari setelah melahirkan, Nur sudah kembali berjualan, kadang sambil menggendong bayinya yang masih merah. Belakangan Nur mengurungkan niatnya memberikan bayinya kepada orang lain, menyadari betapa cantik bayinya dan berharap kelak akan ada yang menemani dan merawatnya. Dalam hati Nur juga masih berharap bahwa suaminya akan berubah setelah kehadiran putri mereka. Namun nasib pahit masih enggan beranjak dari kehidupannya. Man masih saja doyan keluyuran ketimbang melakukan tanggungjawabnya sebagai seorang suami.

Episode keempat. Man, yang masih remaja tanggung itu, ketahuan berselingkuh dengan perempuan yang sudah bersuami dan beranak lima. Ia babak belur dihajar oleh orang sekampung. Bagi Nur, ini seperti sebuah episode yang diputar ulang dalam hidupnya. Nur tidak tahan. Ia berniat minggat. Orang-orang kampung yang bersimpati kepadanya meminta ia sabar dan mengurungkan niatnya demi bayinya. Seperti sebuah drama sinetron, di tengah jalan para tetua desa berusaha menahan dan membujuknya untuk pulang. Tapi tekad Nur sudah kuat, tidak ada yang bisa menahannya. Ia tak bergeming, seangkuh nasib yang menghancurkan hidupnya. Nur minggat entah kemana. Ada yang bilang ia kembali ke ibukota. Bayinya yang masih berusia tiga bulan itu kini diasuh oleh mertuanya, janda tua yang setiap hari harus membanting tulang berjualan bubur untuk menyambung hidup.

Kini rasa masygul dan kehilangan tidak saja dirasakan oleh ibu mertuanya yang janda, tetapi juga orang-orang kampung, termasuk keluargaku. Nur adalah ”anggota keluarga”, yang setiap hari berbagi cerita dengan istriku, bermain dengan putriku yang masih balita dan kadang membantu ibuku, disela-sela waktu senggangnya berjualan makanan di emperan rumah kami.

(Tulisan ini pernah dimuat di www.kompasiana.com edisi 2 April 2009)

Read more...

pak dokter paru di bandara cengkareng

31.3.09

Saya sebenarnya sudah tidak ingin mengungkit luka lama. Selain karena banyak pekerjaan yang lebih penting, mengingatnya membuat saya teringat kejadian 2 tahun yang lalu. Namun bukankah kadang kita diingatkan oleh sebuah momen dalam hidup kita dengan momen yang lain pula?

Sore itu, 22 Maret 2009, saya tengah di bandara Cengkareng, menunggu penerbangan ke Medan. Pandangan mata saya tertuju pada sosok yang berjalan santai menuju pintu keberangkatan. Saya seperti mengenal sosok lelaki setengah baya dengan rambut setengah memutih, berkulit bersih dan berkaca mata itu. Gaya berjalannya yang khas masih saya ingat. Seperti sebuah deja vu. Tapi di mana? Saya berusaha keras mengingat daftar kerabat, kolega, kenalan, atau siapa saja yang pernah masuk dalam hidup saya. Siapa? Dan ketika ia hampir lenyap dari pandangan, barulah saya mengingatnya. Gerbang keberangkatan pesawat tujuan Solo yang dimasukinya membuat saya yakin bahwa saya memang pernah mengenalnya.

Januari 2006. Bapak saya terbaring di sebuah rumah sakit di Solo karena kanker paru-paru yang diidapnya. Bersama ibu, istri dan saudara, kami bergiliran menunggui bapak, mengajaknya berdoa atau memijit badannya saat pegal karena terlalu lama berbaring. Kondisi bapak sudah sangat lemah dan gering. Setiap beberapa hari, seorang dokter spesialis paru datang untuk memeriksa. Setiap pak dokter paru datang, ia memeriksa kondisi bapak dengan steteskopnya, tidak lama. Lalu setelah itu ia hanya berucap beberapa kata kepada suster tentang obat yang harus diberikan pada hari itu. Begitu yang dilakukannya setiap kali datang. Saya yang tidak puas hanya bisa mengira bahwa mungkin ada pasien lain yang harus ditangani pak dokter. Tapi saya juga berbaik sangka dengan mengambil kesimpulan bahwa dokter ini pasti sudah terbiasa menangani pasiennya. Rutinitas pemeriksaan yang pasti sudah ia jalani bertahun-tahun dan sudah sangat ia hafal caranya.

Sampai suatu ketika, pak dokter paru memanggil saya. Dengan wajah datar, pak dokter berkata bahwa ia sudah berusaha keras, namun kemungkinan bapak untuk bertahan sangatlah tipis. Saya diam, menatap wajahnya lekat-lekat. Jujur, saya tidak terlalu kaget dengan ucapan pak dokter. Justru karena menganggapnya dokter berpengalaman, saya menebak kira-kira berapa kali ia mengucapkan ini kepada keluarga pasien yang pernah ditanganinya. Subuh hari berikutnya, tepat di hari keempat belas masa perawatan, saya, ibu dan istri mengantarkan saat-saat terakhir ketika bapak pergi menghadap Tuhan. Rasa perih yang tidak juga hilang sampai beberapa tahun lamanya.

Saya sendiri tetap berprasangka baik bahwa pak dokter paru itu sudah menganalisa, atau berusaha keras menyembuhkan bapak saya dengan membuka-buka kembali dari buku referensi atau catatan tentang penyakit paru yang ia punya. Apalagi dari cara memeriksa bapak saya, jam terbang yang ia miliki pasti sudah tinggi. Saya juga tidak menganggap bahwa peran seorang dokter adalah segala-galanya. Lagipula, kami sekeluarga sudah mengantisipasi hal terburuk melihat hasil diagnosa yang menyebutkan kanker paru-paru yang diderita bapak sudah mencapai stadium akhir.

Namun sebagai orang awam yang bisa tahu dunia medis hanya dari buku atau referensi lainnya, tugas seorang dokter bukan hanya memeriksa atau mengobati, tetapi juga memberikan semangat dan motivasi pada pasien yang ia tangani. Apalagi untuk penyakit kanker, di mana motivasi dan semangat untuk melawan kanker memainkan peran yang tidak kalah penting dari pengobatan fisik. Saya hanya membayangkan, bahwa jika saja dalam masa perawatannya bapak saya mendapat perhatian yang lebih dari sekedar obat dan pemeriksaan fisik, barangkali ia akan lebih merasa nyaman atau tidak terlalu merasakan sakit yang membuat beliau tidak pernah bisa tidur selama masa empat belas hari masa perawatannya.

Dalam sebuah referensi yang saya cari di internet, seorang ahli terapi kanker, Max Gerson mengatakan bahwa ”kondisi mental penderita dan kerjasama psikologis dari keluarga serta lingkungan memainkan peran penting dalam restorasi tubuh. Setiap pasien membutuhkan kesetiaan, kasih, harapan dan semangat”. Lebih sekedar karena hak sebagai pasien yang sudah membayar, proses penyembuhan –dalam kasus penyakit apapun- tidak hanya soal teknologi atau obat yang digunakan, tetapi juga harapan yang harus selalu ditumbuhkan. Rutinitas atau kebiasaan tidak bisa mengalahkan empati dan kemanusiaan, apalagi oleh jumlah penderita yang harus ditangani.

Sore itu sosok pak dokter paru di bandara cengkareng kembali membuat dada saya terasa sesak dan perih. Barangkali bapak saya hanya salah satu saja dari sekian banyak pasien yang pernah ditanganinya. Tapi bagi saya, kehilangan bapak adalah masa-masa tersulit dalam hidup saya. Adakah pak dokter mengetahuinya?

Read more...

Seperti apa berkah itu?

19.1.09

Istilah berkah sering kita dengar dalam keseharian hidup. Sebuah istilah yang identik dengan rezeki atau penghidupan ekonomi. Berkah juga istilah yang menggambarkan kondisi hidup yang baik, layak, bahagia atau hidup berkecukupan materi. Dalam bahasa aslinya –bahasa arab- berkah artinya kebaikan.

Saya teringat suatu masa di sekitar tahun 1990-an, ketika saya masih duduk di bangku SD. Di kecamatan tempat saya tinggal terdapat keluarga yang kaya raya. Mereka memiliki usaha di bidang transportasi dan penggilingan padi yang cukup besar di seluruh kecamatan. Rumah mereka besar dan luas, berdinding batu kokoh dengan lantai marmer yang dingin. Masa itu, hanya segelintir orang yang memiliki rumah dengan model bangunan seperti yang mereka miliki.

Sayangnya, keluarga tersebut juga dikenal karena praktek riba yang mereka jalankan. Orang-orang yang berhutang pada mereka harus mengembalikan pinjaman beserta bunga dengan jumlah tertentu. Banyak warga yang tidak suka, tetapi masa-masa susah pada jaman itu membuat lebih banyak warga yang berhutang dengan resiko membayar beberapa kali lipat.

Saya mengenal baik keluarga tersebut meski mulai jarang berinteraksi terutama ketika saya duduk di bangku kuliah hingga bekerja. Belakangan saya tahu bahwa sesuatu terjadi terjadi pada mereka. Sang kepala keluarga mengalami gangguan jiwa sampai akhir hayatnya. Kedua anak perempuannya gagal dalam perkawinan, sementara anak lelaki satu-satunya selain gagal dalam berumah tangga juga divonis menderita kanker otak. Beberapa usaha yang dulu menjadi kebanggaan mereka bangkrut dan dijual. Kehidupan mereka berubah drastis. Terakhir kali datang saat melayat meninggalnya sang kepala keluarga, nyaris tidak tampak sisa-sisa kejayaan mereka di masa lalu. Rumahnya yang dulu seperti istana kini tak lebih rumah tua tak terurus dan kalah mentereng dibanding rumah-rumah di sekitarnya.

Tanpa bermaksud menyalahkan, tidak sulit untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa keluarga tersebut menuai apa yang dulu mereka tanam. Beberapa orang mempercayai hukum karma, bahwa apa yang kita tanam hari ini akan kita panen beberapa waktu setelahnya. Segala hal baik yang kita kerjakan akan menghasilkan kebaikan pula beberapa waktu kemudian. Begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa, namun dalam konteks yang berbeda barangkali inilah yang dimaksud oleh Soren Kierkegaard dengan “lompatan iman” (leap of faith), yaitu suatu pengalaman hidup yang melampaui batas-batas obyektifitas dan tidak memenuhi standar rasio namun sejatinya hadir dalam keseharian manusia.

Berkah dalam urusan rezeki bukanlah soal jumlah yang kita terima, tetapi bagaimana kita mendapatkan, menggunakan dan bersyukur atasnya. Lebih dari itu, berkah adalah suatu kondisi kebaikan yang kadang tidak kita sadari tapi selalu bisa kita rasakan kehadirannya. Orang-orang yang hidupnya lurus dan jujur, barangkali memang tidak bisa menjadi kaya dan mempunyai harta berlebih, tetapi mereka bisa menikmati hidup dengan tenteram, fisik dan mental yang sehat serta keluarga yang membanggakan.

Sebaliknya, orang-orang yang jungkir balik menghalalkan segala macam cara memang bisa menikmati keuntungan pada saat itu juga, tetapi tidak sadar bahwa kehidupan pada hakekatnya adalah lintasan orbit yang teratur, dan jika itu dirusak maka malapetaka akan datang di kemudian hari. Adakalnya penyakit fisik yang mendera, namun lebih banyak yang sepanjang hidupnya sakit psikis, kecemasan dan rasa takut berlebih kehilangan harta. Banyak contoh di mana korupsi tidak hanya membuat pelakunya masuk penjara, tetapi juga membuat keluarganya tercerai berai atau menanggung malu seumur hidupnya.

Kembali ke cerita di atas, hubungan baik dengan keluarga tersebut membuat saya bisa merasakan masa-masa sulit yang mereka alami saat ini. Mereka bukanlah orang-orang yang “terhukum”, melainkan hanya sedang berada dalam fase memanen apa yang telah mereka tanam sebelumnya. Suatu kondisi yang bisa dialami oleh siapapun, kecuali mereka yang selalu mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan dengan tetap bekerja keras dalam orbit kejujuran dan tidak berlebihan. Sejarah tidak hanya narasi momen besar dari orang-orang besar, tetapi juga narasi kecil dalam lingkungan sehari-hari yang harus selalu diambil pelajaran darinya.




Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP