Diberdayakan oleh Blogger.

Kisah sebutir jeruk

11.11.07

Di sebuah desa, tinggallah seorang kaya yang dermawan. Setiap hari ia selalu membagi-bagikan makanan kepada orang-orang miskin di desa tersebut. Ia menjadualkan pembagian makanan mulai pagi hari sampai menjelang siang. Pada suatu hari, dua orang perempuan tua datang ke rumahnya. Karena hari sudah siang dan sudah banyak yang mengambil makanan, orang kaya tadi hanya tinggal mempunyai sebutir jeruk untuk dibagikan.

“Aku hanya mempunyai sebutir jeruk,” katanya kepada kedua perempuan tua tersebut.
“ Jeruk itu untukku saja Tuan. Saya benar-benar membutuhkan jeruk itu,” kata perempuan pertama.
“ Tidak Tuan. Saya lebih membutuhkan jeruk itu,” kata perempuan kedua.

Kedua perempuan tadi bertengkar karena merasa paling berhak atas jeruk tersebut. Orang kaya tadi bingung. Dalam hatinya, ia tahu kedua perempuan tersebut benar-benar membutuhkan jeruk. Cuaca yang panas di siang hari pasti membuat mereka menjadi haus. Sebenarnya ia sangat ingin membagi jeruk tersebut menjadi dua, meski hatinya yang dermawan tidak tega jika hanya memberi setengah dari buah jeruk kepada masing-masing perempuan tua tersebut. Tetapi ia tidak punya pilihan lain...

“Baiklah, hari ini aku hanya punya sebutir jeruk. Agar adil, aku akan membaginya menjadi dua”, kata orang kaya tersebut sambil membelah jeruk tersebut.” Ini untukmu setengah dan setengah lagi untukmu...”

Kedua perempuan tadi pun menerima jeruk masing-masing. Namun apa yang terjadi? Perempuan pertama yang sudah sangat kehausan memakan setengah buah jeruk dengan lahapnya. Sementara perempuan yang lain justru membuang buahnya ke tanah, menyimpan kulit jeruk di sakunya sambil berkata, “ sudah lama aku tidak makan manisan kulit jeruk. Aku akan menjemurnya dan menjadikannya manisan...”

Kisah sederhana di atas saya dapat saat mengikuti sebuah pelatihan, dengan beberapa revisi menyangkut cerita dan pesan yang akan disampaikan. Seringkali dalam kehidupan kita sehari-hari kita harus membantu teman, saudara atau orang lain yang sedang dalam masalah. Namun kadangkala, tindakan dan niat baik kita kepada seseorang tidak akan sepenuhnya dimanfaatkan oleh orang yang bersangkutan. Bisa jadi tujuan yang tercapai hanya setengahnya, atau kadang malah sia-sia sama sekali. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat hal tersebut terjadi. Pertama, ketidaktahuan kita akan kebutuhan yang sebenarnya dari orang yang akan kita bantu. Kedua, kita mengambil keputusan berdasarkan empati dan mengambil kesimpulan dari sudut pandang kita sendiri. Maka, komunikasi yang jelas antara kita dengan orang yang akan kita bantu, ditambah dengan informasi yang cukup dan berimbang menjadi penting agar niat dan tindakan baik kita tidak sia-sia.

Read more...

Mengantar Bapak pergi...

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...
Semua milikNya dan kembali kepadaNya...

Selasa, 23 Januari 2007 Allah Swt mengambil bapak dari sisi kami. Subuh itu hanya ada kesedihan yang teramat sangat dan rasa kehilangan yang menyayat hati. Tapi hari-hari selanjutnya kami sadar, bahwa Allah telah memberikan jalan yang terbaik untuk Bapak. Dan keyakinan itulah yang membuat kami ikhlas, sekaligus membangkitkan tekad kami untuk melanjutkan perjuangan dan amanat beliau...


Moewardi, pukul 00.00-05.20 pagi
:untuk kanker paru-paru

Silahkan kalian beramai-ramai menggerogoti tubuhnya
silahkan berpestapora menghancurkan paru, liver dan ginjalnya
ia tetap tegar dan menikmatinya sebagai sebuah ibadah
kepasrahan pada Tuhan yang disembahnya

jika ia mengerang, percayalah bahwa itu bagian dari zikirnya
jika ia menangis, percayalah bahwa itu airmata yang sering ia teteskan dalam sujud malamnya
jika ia putus asa, percayalah bahwa itu karena kerinduan yang terlalu lama untuk bertemu kekasihnya

dan saat kalian selesai
dengar, namaNya lah yang ia seru di detik-detik terakhir.
lihat, betapa teduh tenang wajahnya. Ia bahkan tersenyum bahagia
seperti musafir yang menemukan mata air di gurun pasir
seperti pencinta yang menyatu dengan kekasihnya

dan kalian kalah...!!!


PENGAKUAN
: subuh, 23 Januari 2007

Sampai saat ini
aku masih bisa merasakan
tekstur dan hangatnya telapak tangan
yang ribuan kali kucium dengan takzim

Tuhan
Lelaki tua yang seringkali kukhianati itu
telah pergi menghadapMu
sedang aku belum sampai pada kedewasaanku
belajar hidup dengan keberanian dan keteguhan
seperti yang selalu ia harapkan

malam itu, aku tidak sempat meminta maaf padanya
hanya karena aku yakin bahwa Kau masih akan memberiku kesempatan
untuk membalas setiap tetes keringatnya yang telah membesarkanku
memijit pundaknya yang renta atau lengannya yang dulu pernah membopongku di saat sakit
membelikannya soto ayam, sarung, baju batik atau apapun yang bisa membuatnya yakin bahwa kecintaanku padanya adalah energi yang telah membuatku pergi ribuan kilometer jauhnya

Malam itu, aku bahkan tidak sempat meminta maaf kepadanya
menyisakan sesal yang sering mengiris di malam-malam senyap
mengingatkanku pada malam-malam saat Kau mengujinya dengan rasa sakit dan ketidakberdayaan
: dan sampai saat ini aku terus belajar untuk memahami
bahwa malam-malam itu adalah malam di mana Kau membelainya dengan penuh cinta dan kelembutan

Tuhan,
aku percaya bahwa Kau lebih lebih berhak atasnya
karena hanya dengan keyakinanku itulah yang membuatku ikhlas
melepas kepergiannya
di subuh itu


Mengantar Bapak pergi
Mengantar bapak pergi
masih teringat suaranya membetulkan bacaan Quran kami yang keliru
dengan suara tongkat yang ia ketukkan di meja
terkadang suaranya meninggi dan memarahi
tapi sungguh ia hanya ingin kami membaca ayat Tuhan dengan sempurna

Mengantar bapak pergi
masih teringat setiap hari minggu ia memboncengkan kami dengan motor bebek tua
berkeliling menyisiri pojok-pojok desa, tempat-tempat yang sering disinggahinya
mengobrol dengan kenalan atau murid mengajinya
dan dengan bangga berkata:”ini anak-anakku...”

Mengantar bapak pergi
aku masih teringat cerita-cerita di kala senggangnya
masa kecilnya yang sebatang kara
juga masa mudanya yang ia habiskan untuk mengembara
sekedar menyambung hidup atau memuaskan hasratnya akan ilmu
lalu berkata” aku hanya orang bodoh yang mendapat anugerah diangkat jadi abdi negara...”

Mengantar bapak pergi
masih teringat kami akan wejangan-wejangannya
ritual kami sebelum meninggalkan rumah
semoga lancar kuliah kami
semoga berkah kerja kami
dan setelah itu kami pun pamit mencium tangannya

Mengantar bapak pergi
masih teringat ketenangannya, duduk di kursi panjang memejamkan mata
dan kami tak pernah tahu apa yang ada di pikirannya
mungkin ia risau dengan kami, anak-anaknya yang berusaha dewasa
mungkin ia risau dengan mereka, orang-orang yang melupakan ajaran-Nya

Mengantar bapak pergi
masih teringat wajahnya yang berbinar, langkah kakinya yang sigap
di hari-hari menjelang kepergiannya beribadah ke Baitullah
kami terharu, betapa semangat mengacuhkan penyakitnya

Mengantar bapak pergi
aku teringat malam-malam yang menyiksa
tubuh yang ringkih dan selang-selang medis membatasi geraknya
erangan dan zikir keluar dari mulutnya
:dalam hati aku hanya bisa menahan amarah pada kanker yang berpesta

Mengantar bapak pergi
adalah rasa kehilangan di pagi buta
megiringi detik-detik saat ia menghadap Tuhan
di pangkuan ibu, dan kami anak-anaknya

: Ya Allah, semoga engkau syahidkan ayahanda kami. Amin

Meulaboh, 5 Februari 2006




Read more...

Filsuf dan Penjual Gandum

10.11.07

Alkisah, seorang Arab Badawi bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba meletakkan karung itu di atas punggung unta; dan berulangkah ia gagal. Ketika ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya pemecahan yang sederhana. Ia mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera ia berangkat ke pasar.

Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang berpakaian compang-camping dan berkaki telanjang. Ia diajak oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak, beristirahat, dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang Badawi itu menyadari bahwa yang mengajaknya berbincang itu orang yang banyak pengetahuan. Ia sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu menyaksikan dua buah karung bergantung pada punggung unta.

"Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat", tanya orang asing itu. "Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasehat, "Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat berjalan lebih cepat."

Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar. Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada Anda".

Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."

"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda itu."

"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan."

Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang kelaparan di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada kecerdikan yang sia-sia. Aku akan melakukan sesuatu sekiranya aku meyakininya, meski menurut orang lain itu suatu kebodohan. Bagiku, melakukan sesuatu yang salah bisa dikoreksi. Anda boleh jadi pandai, tapi tidak akan pernah mendapat pengalaman karena kecerdasanmu tidak kamu praktekkan; saya boleh jadi bodoh, tapi saya mendapatkan berkat dari kerja keras yang selama ini saya lakukan."

Read more...

Orang-orang perkasa di rimba benda-benda….

Entah kenapa, sesekali saya masih saja terbius dengan mal dan segala kenyamanannya. Suatu hari saat sedang liburan di Jokja, saya menjemput istri seusai kuliah. Matahari tepat di atas ubun-ubun ketika kami berada di jalanan yang semrawut dan panas. Tidak ada tempat lain selain mal yang sejuk di sebuah ruas jalan di Janti. Istriku menawarkan untuk mampir, “Ayolah, sekedar menghindar dari panas matahari, menanti sore sambil membaca-baca buku”.

Saya ingat guyonan seorang teman. Seorang aktifis yang sering turun ke jalan demonstrasi menentang kapitalisme dan segala keturunannya. Suatu ketika ia kepergok jalan-jalan di mal dan menikmati ayam goreng panas racikan pak kolonel Sanders. Ketika disindir, dengan cuek ia menjawab, “Saya sedang menyusup ke sarang musuh kok.”

Kembali ke mal. Saya tidak bisa menolak, karena nyatanya di tengah panas yang membakar kulit di manakah tempat yang sejuk dan nyaman selain di mal? Saya mengiyakan kata-kata istri saya, masuk ke kotak beton raksasa yang membius banyak orang itu.

Kami berjalan menuju toko buku, melewati gerai-gerai berjejer, beraneka rupa benda berjejal di ruangan kaca, serta para penjaga yang menyapa dengan kata-kata dan intonasi yang khas,”Mari mas mbak. Silahkan masuk. Lihat-lihat juga boleh. Ada diskon khusus untuk produk celana”. Ramah tapi kikuk. Barangkali ia lelah mengucapkan kata-kata itu seharian. Saya baru tersadar, beberapa kali masuk mal ternyata sekian deret gerai yang ada seperti sebuah panggung kecil di mana para penjaganya mengucapkan kata-kata dengan cara, intonasi dan mimik muka yang terlatih dan nyaris sama.

Setelah puas membaca-baca buku (dan seperti biasanya tidak terlalu berminat untuk membeli), saya dan istri bergegas turun. Kami melewati sebuah gerai makanan terkenal dengan logo atap gubuk berwarna merah. Berjam-jam di ruangan yang dingin membuat perut lapar. Saya melirik dan menelan ludah. Dan gerai itu memang seperti magnet bagi setiap orang. Segala macam logika dan resistensi yang pernah muncul dalam kesadaran bahwa gerai makanan tersebut adalah salah satu produk kapitalisme sirna seketika. Yang ada adalah bahwa makanan yang disajikan benar-benar enak dan duduk di dalam ruangan tersebut adalah sebuah kenyamanan tersendiri.

Kami pun masuk, sambil menabalkan kata-kata Sun Tzu sebagai pembenaran dalam hati; untuk menang, kita harus mengenal karakter musuh. Dan sungguh, hanya keheranan yang saya rasakan. Di depan pintu, seorang perempuan muda seperti sudah di program dengan lancar berkata,” Selamat siang mas mbak. Silahkan pilih tempat duduk.” Dan baru beberapa detik saya duduk, seorang perempuan menghampiri kami dan berkata nyaris tanpa ekspresi,“ Selamat siang. Silahkan pilih menu. Jika sudah selesai, rekan kami akan mengambil catatan dan pesanan akan siap 15 menit kemudian. Terimakasih.” Saya bengong dan yakin, kata-kata itu yang ia ucapkan setiap hari.

Selesai makan, saya sudah tidak takjub ketika perempuan yang tadi berdiri di depan menyambut kami mengucapkan terimakasih atas kunjungan kami dengan intonasi dan nada yang sama persis ketika kami masuk tadi. Sebaliknya dalam hati timbul rasa iba karena sekali lagi saya merasa ia seperti robot yang sudah di isi program untuk mengucapkan kata-kata.

“Beli perlengkapan mandi dulu.” Kata istriku dengan lembut sambil menggandeng tanganku menuju sudut yang lain, sebuah gerai dengan logo khas. Di gerai swalayan asal perancis itu, orang-orang berjubel. Sibuk memilih atau hanya sekedar melihat-lihat benda yang dipajang. Beragam ekspresi, rupa dan tingkah, bercampur dengan suara riuh .Tiba-tiba pandangan saya tertumbuk pada seorang lelaki berseragam kuning hijau. Di antara riuh orang dan tumpukan benda, ia sibuk mengepel dan mengelap lantai bekas injakan orang, termasuk jejak kakiku dan istriku. Kadang ia jongkok, sementara disekelilingnya orang-orang berjubel atau berjalan dengan cuek, seakan menganggap lelaki berseragam kuning hijau tersebut bukan siapa-siapa. Istilah Arabnya wujuduhuu ka ‘adamihi, “ adanya seperti tidak ada..”.

Saya jadi ingat gambar kartun jaman pergerakan seperti yang pernah muncul di buku-buku sejarah; seorang pribumi yang menggosok sepatu seorang Belanda. Lalu beragam pertanyaan muncul dalam pikiranku; Bagaimana lelaki ini memaknai pekerjaannya? Berapa penghasilannya? Cukupkah penghasilannya untuk membeli beberapa barang di mal ini? Pertanyaan yang lebih jauh lagi muncul dalam benak saya; siapkah ia sebenarnya melakukan pekerjaan profesi itu? Bagaimana perasaannya jika suatu ketika bertemu dengan tetangga yang mempunyai pekerjaan dan berpenghasilan lebih layak sedang memborong begitu banyak barang, sementara ia sendiri bekerja demi menyambung hidup sehari-hari atau memang tidak ada pilihan pekerjaan lain? Jika perempuan yang di warung gubuk merah tadi di program untuk berkata-kata, lelaki ini seperti diprogram untuk bekerja dalam diam. Tidak ada perintah untuk berinteraksi dengan orang lain. Perintahnya mungkin hanya satu,”Bersihkan lantai bekas diinjak para pengunjung sebersih mungkin!...”

Memang tidak ada sebuah pekerjaan yang hina atau rendah, kecuali jika pekerjaan itu merugikan atau mengambil hak orang lain. Tukang pel bukanlah jenis pekerjaan hina. Tetapi, kapitalisme adalah pihak yang paling jago dalam hal membuat suatu pekerjaan dan segala jenis aktifitas manusia tidak lagi berdimensi manusiawi. Segalanya diukur dengan uang dan simbol, juga status. Kapitalisme juga yang membuat budaya interaksi langsung antar personal yang berpotensi menyerap pengetahuan, kultur dan potensi antar individu tereduksi menjadi sekedar siapa bisa menghasilkan apa dan siapa bisa membeli apa. Proses pembelajaran sosial menghilang, digeser oleh hubungan-hubungan fungsional belaka. Pekerja pabrik yang di larang berbicara saat jam kerja adalah contoh dari hubungan fungsional tersebut.

Mal adalah tempat yang lebih lengkap untuk melihat fenomena terkikisnya dimensi manusiawi. Di mal sifat individualistis seseorang tertanam ketika seseorang diharuskan memilih benda sendiri. Tidak ada interaksi antara penjual dan pembeli, yang ada hanyalah siapa mengambil apa dan membayar berapa. Di mal, segenap potensi dan kepribadian seseorang dikalahkan oleh gemerlapnya gengsi dan simbol. Masyarakat modern, menurut kang Adorno dari mazhab Frankfurt (beda dengan mazhab sunni atau syiah, hehe..), adalah masyarakat komoditas, yaitu masyarakat yang larut dalam kesenangan membeli, dan celakanya tujuan mereka membeli benda-benda itu bukan benar-benar karena fungsinya, melainkan untuk memuaskan hasrat akan status dan simbol. Makan ayam goreng racikan kolonel Sanders adalah status tersendiri meski rasanya mungkin kalah dengan racikan nyonya Suharti ( saya hanya berani menggunakan kata “mungkin” karena bukankah lidah tiap orang berbeda?)Suasana berbeda akan kita rasakan ketika kita berbelanja di pasar tradisional. Sambil menyiapkan sayur, bumbu atau barang-barang lain yang kita beli, biasanya simbok penjual dengan halus dan medok bertanya, “daleme pundi mas? (rumahnya mana mas)?” Lalu mengalirlah obrolan khas pasar dengan simbok penjual bumbu atau dengan pembeli lainnya. Obrolan seperti itu mempunyai tujuan ganda; bagi simbok penjual bumbu mengobrol adalah untuk menjaga hubungan dengan langganan dan bagi pembeli agar mendapat pelayanan memuaskan. Tetapi ada tujuan yang lebih bernilai, yaitu sebagai sarana untuk saling mengenal atau bahasa jawanya “nambah sedulur” (menambah saudara). Dan sejarah membuktikan beberapa peradaban besar dunia terbentuk dari budaya jual beli dan perdagangan yang menganut prinsip interaksi langsung antar manusia dan kebudayaan yang berbeda-beda, dan bukan jual beli model swalayan. Kemajuan peradaban Eropa dan Asia mendapat sumbangsih dari Jalur Sutera yang legendaries itu, begitu juga peradaban Timur Tengah kuno yang terhubung karena keuletan para “pedagang jarak jauh” (saya terjemahkan dari istilah seorang sarjana Sosiologi Agama Khaldoun Salman: long distance trader, hehe..) yang menghubungkan Arab, Mesir, Syiria, Yaman dan sekitarnya. Di Nusantara, kebesaran Majapahit bukan hanya terbentuk dari kekuatan militer, melainkan juga dari ekspansi dagangnya.

Fenomena di mal hanyalah contoh dari sekian pola hidup masyarakat modern yang berada dalam ruang konsumen (consumer space), setelah sebelumnya berada dalam tahapan ruang budaya (culture space) dan ruang politik (political space). Fenomena ruang konsumen berhubungan dengan ruang elektronik (electronic space), di mana terjadi pereduksian interaksi tatap muka. Ujung-ujungnya, tidak ada lagi communal property atau communal space, berganti menjadi individual property dan individual space. ATM, handphone, internet dan (sekali lagi) mal adalah penopang fenomena tersebut.

Tukang pel dan perempuan penjaga gerai gubug merah adalah komponen-komponen kinetik yang menggerakkan sebuah mesin penghasil uang bernama mal. Mereka seperti sudah di program untuk melakukan sebuah fungsi, bukan aktualisasi. Interaksi yang ditunjukkan oleh perempuan penjaga gerai adalah interaksi semu dan basa-basi. Dan kesendirian tukang pel adalah sisi gelap dari hiruk pikuk budaya mal dan jual beli masyarakat modern. Mereka adalah korban yang terjebak dalam lingkaran setan yang tak terputus-putus, dimulai ketika berpuluh-puluh mal di bangun, menghabiskan berhektar-hektar lahan pertanian produktif, mematikan pasar tradisional dan menghancurkan usaha-usaha kecil, membuat orang terbelit kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi dan membuat anak-anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikan yang lebih baik. Pada akhirnya mereka yang kalah akhirnya harus tahu diri untuk sekedar menjadi pemungut remah-remah dan pelayan bagi tetangga mereka sendiri. Dan begitulah seterusnya.

Dalam perjalanan pulang, saya tidak bisa melupakan wajah perempuan dengan intonasi suara yang khas di depan gerai gubuk merah. Juga lelaki tukang pel di tengah kerumunan orang memburu benda-benda. Mereka adalah orang-orang yang merasakan bagaimana pahitnya dinistakan globalisasi sebagai sebuah fenomena dan kapitalisme sebagai sebuah sistem, meski mungkin tanpa mereka sadari. Jika saya dan orang-orang yang masih saja mengagungkan benda-benda, simbol dan status adalah pihak yang lemah dalam mengendalikan kesadaran untuk tidak terjebak dalam budaya konsumtif, tukang pel dan penjaga gerai adalah orang-orang perkasa yang setiap hari harus berjuang melawan keterasingan dalam sebuah kotak mesin yang mematikan segenap potensi dan hakekat mereka sebagai manusia.

Dan sore itu, pergi ke mal menjadi sebuah kontemplasi yang menampar muka sendiri, sekaligus mendapat pembenaran dari kata-kata Gunawan Muhammad tentang ketidakberdayaan masyarakat modern yang hidup ditengah kepungan mal untuk menghindar dari segala kenyamanan dan gemerlap simbol yang ditawarkannya,”…memang sulit. Memang sulit…”

Read more...

Masjid dan Pasar

5.11.07


Salah seorang Imam dari aliran Islam Syiah, Imam Ja'far Shadiq mengatakan “Jangan lihat perilaku orang di masjid,” katanya, “sebab itu memang tempat ibadah (tentu semua orang yang sedang berada di sana baik belaka). Lihat perilakunya di pasar (barulah kelihatan aslinya).”

Ternyata pendapat Imam yang hidup puluhan abad yang lalu itu sangat 'futuristik”. Di negeri yang katanya religius ini begitu banyak masjid, gereja dan tempat ibadah lainnya, tapi kelakuannya sama dengan orang di pasar; jual kecap, penipu, copet, dll.


Ketika pergi ke masjid, mereka seperti ke pasar karena merasa diri sendiri “produk Tuhan” yang paling unggul dan paling bagus di antara yang lain (bahkan secara harfiah pergi ke masjid sekaligus menjadikannya ruang pamer untuk baju atau aksesoris yang bagus). Sementara ketika ke pasar, mereka malah “jualan” sepotong fatwa, lembaran-lembaran ayat, atau bendera bergambar Tuhan.

Repotnya lagi, para pengambil keputusan mencampur-adukkan urusan masjid dan pasar. Saat mengambil keputusan yang menyangkut urusan pasar (ekonomi, perut, keuntungan) mereka melakukannya seakan di “masjid” sehingga urusan perut diperjuangkan dengan ayat-ayat atau diperjuangkan atas nama Tuhan. Sebaliknya, mereka mengambil keputusan yang menyangkut urusan masjid (surga, pahala, neraka, baik, benar, soleh, ingkar) di “pasar” (parlemen, istana, departemen) sehingga agama yang sebenarnya urusan privat dan sangat subyektif akhirnya menjadi keputusan politis dan dilembagakan dalam bentuk Perda, UU, atau polisi syariat. Ironis!

Read more...

About

Personal

Nama : Saefudin Amsa
Sex : Male
Citizenship : Indonesian
Place and date of birth : Boyolali, 11 Desember 1981

Mobile : 0852 28085xxx
Email : ka_amsa@yahoo.com, amsa@jrs.or.id

Academic History
Islamic Elementary School (Madrasah Ibtidaiyah) Ketoyan Wonosegoro, 1992
Junior High School, Wonosegoro, Boyolali, 1995
Senior High School, Karanggede, Boyolali, 1998
Educational Faculty, State Institute of Isamic Studies (STAIN) Salatiga, 2004


Professional History

Project Officer of School Based Peace Education&DRR, JRS Indonesia, 2008 -
Coordinator of Peace Education Program Using Media, JRS Indonesia, Sept 2007- March 2008

Field Officer of Education Program, JRS Indonesia, 2005 - 2006

Organizational Experience
*Coord. of Research and Development, Student Executive Board of STAIN Salatiga, 2004
*Editor, Student Magazine “Dinamika” STAIN Salatiga, 2003
*Editor in Chief, Student Newspaper “Caranggito Post” STAIN Salatiga , 2003
*Coord. of Data & Information, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Regional Board of Central Java, 2003
*Coord. Data & Publication, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) District Board of Salatiga, 2001


Training&Workshop

*Training “Emergency Preparadnes System”; conduct by JRS Indonesia; Medan, September 2008

*Training “Participatory Rural Apraisal based Disaster Reduction”; conduct by JRS Indonesia, Aceh, Juni 2008

*“Peacebuilding Courses”; conduct by Mindanao Peacebuilding Institute (MPI); Philipina, Mei-June 2008

*Training “Project Cycle Management (PCM)”; conduct by Management of Development Program (MDF) Asia Pacific; Medan, October 2007

*Training “Peace Education&Disaster Risk Reduction Using Media”; conduct by IDEP Foundation&Trocaire; Bali, September 2007

*Workshop “Strategic Planning for Non-Profit Organization”; conduct by JRS Asia Pacific; Bangkok, Oktober 2006

*Training “Standard Sphere for Humanitarian Agency”; conduct by JRS Indonesia, Yogyakarta, September 2005

*Training “Education in Emergency Respons” ;conduct by JRS Indonesia, Yogyakarta, September 2005





Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP