Diberdayakan oleh Blogger.

Dari ucapan menuju perdamaian

20.12.07

Seperti biasa, setiap hari Lebaran beragam ucapan selamat lebaran selalu memenuhi ponsel saya, tidak terkecuali dari teman non-muslim. Ada hal yang menarik jika membicarakan isi pesan pendek ucapan selamat Lebaran dari teman-teman non muslim -baik teman kerja atau teman di beberapa organisasi lintas agama semasa masih mahasiswa- setidaknya bagi saya secara pribadi.

Seorang teman non muslim menulis “Selamat Idul Fitri, Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin”. Teman yang lain menulis “ Selamat Lebaran, semoga kita kembali ke fitrah”. Seorang non muslim yang lebih tua dari saya (dan saya anggap sebagai salah seorang guru spiritual saya) mengucapkan sms pendek “ Minal aidin...”. Seorang teman bahkan memberikan ucapan lebaran yang lebih menyentuh dan mengharukan, bukan karena keindahan kata-katanya. Untuk pertama kalinya saya mendapat ucapan lebaran tanpa mengutip kata-kata dalam bahasa Arab, melainkan mengutip kata-kata seorang Romo, “Kerinduan setiap jiwa adalah unik...Kita mencintai orang yang berbeda, berlutut di altar yang berbeda dan meratap di muka nisan yang berbeda. Namun akhirnya ujung perjalanan adalah sama. Kita ingin bahagia dan hidup penuh makna (Antara Kabut dan Tanah Basah, BB Triatmoko SJ). Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin....”

Saya yakin saudara-saudara non-muslim itu tidak paham secara harfiah arti minal aidin wal faizin, taqabbalallahu minna waminkum dan keseluruhan makna Lebaran lainnya. Bisa jadi mereka mencomot dari kartu lebaran atau dari tayangan televisi. Tapi bagi saya itu tidak menjadi persoalan. Yang lebih penting adalah bahwa mereka tulus, dan betul-betul memanfaatkan momen lebaran sebagai sarana untuk minta maaf dan merekatkan kembali tali silaturahmi.

Sama halnya ketika Natal, saya sebagai muslim memberi ucapan selamat Natal dengan sedikit pengetahuan tentang esensi Natal. Sedikit yang saya tahu adalah bahwa Natal identik dengan kasih sayang dan kelahiran Yesus Kristus. Maka tentu sebelum memberi ucapan selamat Natal, saya juga harus melihat kartu ucapan Natal atau mencari informasi tentang hari raya tersebut agar tidak terjadi salah pesan.

Saat masih SMP, saya punya teman akrab yang beragama Kristen. Namanya Daniel. Ia selalu datang ke rumah saya pada hari pertama Lebaran, dan dengan tulus menjabat tangan saya dan meminta maaf jika ada kesalahan selama dalam pergaulan. Sebaliknya, saya selalu mengucapkan selamat Natal kepadanya di sekolah karena tidak bisa datang ke rumahnya (persoalannya, saya tidak punya sepeda atau sepeda motor, sedangkan dia punya). Itulah untuk pertama kalinya saya bergaul dan belajar menghargai keyakinan orang lain, setelah dari buku-buku pelajaran di SD saya hanya mendapat pelajaran tentang agama resmi di Indonesia dan ajaran untuk saling menghormati keyakinan orang lain. Kampung saya sangat kuat keislamannya, sampai-sampai pernah seorang warga diusir dan diancam dibunuh karena menikah dengan orang non-muslim. Bahkan awalnya, Ibu saya sempat melarang saya bergaul dengan teman saya tersebut, meski kemudian memahami bahwa persahabatan kami dibangun di atas sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan keyakinan masing-masing.

Memberi ucapan selamat hari raya kepada umat beragama lain bukanlah hal mudah, karena dituntut untuk memahami pesan dan esensi yang terkandung dalam hari raya tersebut. Dari “hanya“ melihat kartu lebaran atau membuka sedikit referensi tentang hari raya umat lain, momen ini menjadi sebuah langkah awal bagi pemeluk suatu agama untuk memahami ajaran agama orang lain. Pemahaman terhadap ajaran agama lain menjadi modal awal dalam dialog yang bertujuan untuk menciptakan harmoni dan kerukunan dalam kehidupan beragama. Karena dialog mensyaratkan relasi yang sejajar dan tidak ada dominasi, tentu saja tujuan akhirnya adalah rasa saling menghormati antar pemeluk agama. Tidak ada lagi pihak yang menganggap agamanya paling benar dan mengkafirkan umat agama lain. Kata mbah Hans Kung ”Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama, tidak ada perdamaian agama tanpa dialog..”

Selain momen spiritual, Lebaran dan Natal, Galungan, Nyepi dan hari raya agama lain adalah sebuah momen sosial. Hari-hari raya tersebut bahkan tidak hanya menjadi hari raya bagi penganutnya masing-masing, melainkan telah menjadi milik umum. Ucapan minal aidin walfaizin, maaf lahir batin, dan hari Lebaran itu sendiri tidak lagi menjadi identitas atau milik umat Islam, dan sebaliknya telah menembus batas-batas agama dan menjadi sarana perekat relasi sosial. Sama halnya ketika saat ini Assalamualaikum, Alhamdulillah, Insya Allah telah menjadi kata-kata yang umum diucapkan oleh siapapun dalam pergaulan sehari-hari, tidak hanya oleh umat muslim. Begitu juga dengan ucapan ‘Selamat Natal”, lagu "Holly Night, Silent Night" dan lagu "Jingle Bell" yang akrab di telinga orang kebanyakan.

Tidak jelas memang kapan fenomena tersebut di mulai dan apa penyebabnya. Tapi menurut saya, salah satu penyebab meleburnya identitas-identitas tertentu dalam agama tertentu menjadi milik bersama adalah kekuatan dahsyat media massa dan kebebasan masyarakat dalam memperoleh informasi, terutama dari televisi dan internet. Masyarakat menjadi lebih terbuka karena begitu banyaknya informasi yang dicerna dari media, terutama kebudayaan yang beragam, baik lokal, nasional maupun internasional. Banjir tayangan agama di televisi, baik pada saat Ramadhan, Lebaran dan Natal atau hari raya agama lain membuat masyarakat sadar bahwa perbedaan pun bisa dinikmati bersama-sama. Paling tidak, ada sisi positif dari hingar bingar tayangan religius di televisi, yaitu membuat orang memiliki satu “agama”, yaitu kebersamaan.

Saya sendiri sebagai muslim tidak merasa keberatan jika minal aidin walfaizin, assalamualaikum, insya Allah dan alhamdulillah menjadi milik umum. Artinya, esensi Islam sebagai rahmatan lil alamin menemukan momentumnya di sini. Agama bukan lagi pembatas atau membuat berbeda. Sebaliknya, agama seperti menjadi kebutuhan sehari-hari bagi siapapun, menjelma menjadi sebuah kesadaran untuk hidup dalam harmoni dan kedamaian tanpa melihat bungkus atau label. Dalam hal ini, saya berterimakasih kepada globalisasi dan kapitalisme (yang berjasa menyebarkan televisi, internet dan perangkat informasi lainnya) yang tidak saja membuat Kentucky Fried Chicken bisa dinikmati oleh orang Indonesia (tidak hanya orang Kentucky dan Amerika saja), tetapi juga membuat assalamualaikum, minal aidin wal fizin dan alhamdulillah bisa diucapkan oleh Daniel dan saudara-saudara saya yang non-muslim lainnya. Dan begitu juga sebaliknya...

Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP