Diberdayakan oleh Blogger.

Namanya Maksum...

3.12.08


Maksum. Perawakannya kecil, berkulit legam dan raut muka yang selalu riang. Gaya bicaranya yang lugu kadang menimbulkan tawa. Tanggal 28 di bulan November kemarin yang diperingati sebagai Hari Guru Nasional tiba-tiba saja mengingatkan saya pada sosok pak Maksum.

Saya mengenal pak Maksum di pertengahan tahun 2005 ketika mulai bekerja di Meulaboh, Aceh Barat, Nanggroe Aceh Darussalam. Tugas saya pada saat itu adalah menangani program pendampingan guru-guru honor di sekolah-sekolah yang terkena bencana tsunami dan sekolah terpencil yang terkena dampak konflik bersenjata. Pak Maksum adalah salah satu dari sekian ratus guru honor yang mendapat bantuan dari lembaga saya yang antara lain berupa insentif bulanan dan pelatihan peningkatan kapasitas yang berlangsung selama lebih kurang 2 tahun.


Pak Maksum mulai mengajar di sebuah SD di pinggiran Aceh Barat sejak tahun 1996. Ia tidak pernah mengenyam sekolah pendidikan guru atau bangku kuliah. Pendidikan tertingginya hanya SMA. Perkenalannya dengan dunia pendidikan lebih didasari karena kebetulan saja.

Saat itu, Aceh masih babak belur dihajar senjata dan kebencian. Banyak sekolah yang tutup atau dibakar orang tak dikenal. Pak Maksum tinggal di desa yang termasuk kawasan rawan kontak senjata di perbatasan Aceh Barat dan Aceh Jaya. Satu-satunya sekolah yang ada di desa tersebut terlantar karena tidak ada guru yang berani datang mengajar. Melihat kondisi anak-anak yang tidak bisa belajar, hati pak Maksum pun tergerak. Tanpa pengalaman mengajar sedikitpun, ia mengajak anak-anak untuk kembali datang ke sekolah dan memulai kegiatan belajar mengajar hanya dengan mengandalkan buku-buku pelajaran yang ada. Tentu saja tidak ada yang menggaji pak Maksum dan semuanya ia lakukan dengan penuh kesabaran. Pada mulanya ia sendirian sampai kemudian beberapa tentara yang bermarkas di sekitar sekolah ikut membantunya mengajar.

Situasi keamanan Aceh yang membaik setelah tsunami 2004 dan perjanjian damai Agustus 2005 membuat kegiatan belajar mengajar di sekolah pak Maksum mulai berjalan dengan normal. Ia kemudian diangkat menjadi guru honor meski dengan status tersebut pak Maksum hampir tetap tidak mendapatkan gaji setiap bulannya. Dalam sebulan ia paling banyak hanya menerima honor 20 ribu rupiah, yang ia sebut sebagai “uang sabun” karena jumlahnya yang hanya cukup buat membeli sabun. Kadang selama beberapa bulan ia tidak menerima uang sama sekali karena pihak sekolah juga tidak mampu membayar gaji.

Tetapi pak Maksum tidak pernah mengeluh. Ia juga tidak risau ketika tidak segera diangkat jadi guru pegawai negeri, meski beberapa guru honor lain yang baru mengajar di sekolahnya setelah situasi keamanan membaik langsung diangkat menjadi pegawai negeri atau guru kontrak pemerintah daerah. Beberapa kali ia pernah mengikuti tes pegawai, namun statusnya yang hanya tamatan SMA menjadi kendala baginya untuk bisa diangkat sebagai abdi negara.

“Kenapa pak Maksum tetap mengajar meski honornya sedikit? Bapak kan bisa cari kerja lain?”tanya saya suatu ketika.
“Begini pak. Dalam hadits Nabi dikatakan didiklah anak-anakmu hari ini karena kelak dia akan jadi pemimpin di masyarakat. Hanya itu yang membuat saya kuat.“jawabnya tulus tanpa sedikitpun niat menyombongkan diri. Jawabannya yang terkesan spontan namun penuh makna membuat saya merinding. Ia terbiasa memanggil saya dengan sebutan Pak meski usianya lebih tua dari saya.

Pagi sebelum berangkat mengajar, pak Maksum memasang bubu di sungai dekat rumahnya. Selepas mengajar atau menjelang magrib, dia mengambil bubu dan menjual ikan yang terperangkap untuk menambah kebutuhan sehari-hari. Namun penghasilan utama pak Maksum bukan dari menangkap ikan. Ia menyewa kebun kelapa tetangganya seharga beberapa ratus ribu rupiah. Ia mengolah kelapa menjadi kopra, hasilnya sebagian untuk membayar sewa pada pemilik tanah dan sisanya untuk kebutuhan sehari-hari. Toh, kerja kerasnya tidak cukup untuk mencukupi kebutuhannya bersama istri dan dua anaknya. Rumah papannya yang reot dan beratap rumbia baru ia perbaiki dari hasil tabungannya selama mendapat bantuan honor dari lembaga tempat saya bekerja sebesar 500 ribu rupiah setiap bulannya.

“Pak Maksum tidak dapat rumah bantuan? Bukankah desa pak Maksum juga terkena tsunami?”
“Sebenarnya desa saya tidak terkena tsunami langsung. Memang banyak tetangga yang mendapat rumah bantuan setelah mengajukan permohonan, padahal sebenarnya rumahnta tidak rusak terkena tsunami. Tapi saya sama sekali tidak punya keinginan seperti itu. Itu bukan hak saya, pak“.

Lain waktu, lembaga saya mengadakan pelatihan untuk para guru dampingan. Kami menempatkan para guru yang tinggal di luar kota Meulaboh di sebuah penginapan, termasuk pak Maksum. Hari pertama pak Maksum menolak masuk penginapan dan meminta dicarikan tempat lain yang lebih sederhana. Ia merasa tidak nyaman berada di kamar yang menurutnya terlalu bagus. Padahal kami menyediakan penginapan biasa dengan tarif kurang dari 100 ribu permalam. Pada akhirnya pak Maksum memang menempati penginapan yang disediakan meski paginya ia mengaku terjaga semalaman karena tidak biasa tidur di atas kasur pegas.

Banyak hal yang saya dapat selama lebih kurang dua tahun masa pertemanan saya dengan pak Maksum. Namun ingatan saya tentang pak Maksum bukan hanya ingatan tentang seorang guru honor biasa, melainkan seorang guru sederhana dengan semangat dan kegigihan merawat sebuah cita-cita besar —dalam hal ini generasi masa depan yang lebih baik— di tengah segala keterbatasannya.

Pak Maksum adalah potret kecil dari ribuan guru lain di negeri ini yang mendedikasikan hidupnya bagi dunia pendidikan dengan hanya bermodalkan semangat dan ketulusan meski minim keahlian mengajar atau tanpa gaji yang memadai. Namun mereka adalah guru kehidupan yang sesungguhnya, yang memaknai status guru bukan hanya sebagai profesi di kelas, melainkan juga sifat dan keteladanan yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Inspirasi dan kearifan tidak mereka tunjukkan dengan khotbah yang berbuih, perintah yang memaksa, atau kesalehan yang dibuat-buat, melainkan dari kejujuran dan kesederhanaan dalam menjalani hidup serta keikhlasan dalam menjalankan tanggungjawabnya. Dari merekalah kita hendaknya belajar...



Read more...

Lehman Brothers dan Lekman Bersaudara

10.11.08



Lek Man adalah tetangga saya di kampung. Nama aslinya Paiman. Sebagaimana pemuda desa yang kesulitan mendapat pekerjaan, Lek Man mencoba mengadu nasib dengan merantau ke Jakarta. Entah usaha apa yang digelutinya, saya yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah dasar tidak terlalu tahu. Yang saya ingat, beberapa waktu kemudian Lek Man pulang kampung.

Dengan hasil tabungan selama bekerja di Jakarta, Lek Man merintis usaha kecil-kecilan, yaitu berjualan siomay. Berbeda dengan siomay biasa, siomay Lek Man hanya berupa bulatan sebesar bakso yang dibuat dari tepung kanji yang diisi tahu, telor atau sedikit daging. Untuk memakannya, siomay dicelupin ke saos pedas dengan menggunakan tusuk yang terbuat dari bambu. Mula-mula Lek Man hanya berjualan keliling kampung dengan menggunakan sepeda angin. Ternyata, siomay Lek Man mendapat sambutan luar biasa dari warga kampung, terutama anak-anak. Berangkat pagi dan pulang sebelum matahari meninggi, dagangan Lek Man selalu habis. Untuk memenuhi permintaan konsumen yang semakin meningkat, beberapa saudara Lek Man mulai ikut membantu berjualan. Jika sebelumnya hanya omzet kampung, siomay Lek Man juga mulai merambah antar desa dan kecamatan sekitar.


Kesuksesan usaha Lek Man memberi inspirasi bagi orang lain. Banyak warga kampung yang mulai ikut berjualan siomay tusuk. Salah satu orang yang meniru usaha berjualan siomay tusuk bahkan menjadi lebih sukses dari Lek Man, seorang juragan yang mempekerjakan banyak orang dengan modal dan omzet yang lebih besar dari Lek Man. Para pekerjanya berjualan dengan menggunakan sepeda motor, menjangkau lebih banyak tempat ketimbang Lek Man dan saudara-saudaranya yang masih saja berkeliling menggunakan sepeda angin.

Namun, booming siomay di kampung kami hanya berlangsung selama beberapa bulan. Warga yang berjualan siomay satu demi satu berguguran dan tidak meneruskan usaha. Bahkan sang juragan siomay pada akhirnya bangkrut, mengurangi jumlah para pekerjanya dan pada akhirnya tidak berjualan sama sekali. Tinggal Lek Man yang setiap hari mengayuh sepedanya dengan wajah penuh senyum lugu dan ramah khas desa.

Kerja keras dan kesederhanaan

Kisah Lek Man di kampung saya dalam beberapa hal sama dengan kisah keluarga Lehman bersaudara. Pada tahun 1844, Henry Lehman hijrah dari Bavaria, Jerman menuju Amerika Serikat bersama dengan adiknya Emanuel Lehman dan Mayer Lehman. Mereka mendirikan sebuah toko kecil di Alabama yang pada waktu itu terkenal dengan komoditi kapasnya. Bermula dari toko sederhana dan bisnis kapas kecil-kecilan, perusahaan mereka pada akhirnya menjelma menjadi raksasa keuangan Amerika Serikat dan juga dunia yang kita kenal dengan nama Lehman Brothers.

Yang berbeda dari Lek Man dan keluarga Lehman adalah filosofi yang mendasari usaha mereka. Saya yakin bahwa usaha Lek Man bisa saja berkembang atau bahkan tidak hanya terfokus pada siomay tusuk karena pada dasarnya Lek Man memiliki kemampuan seorang wirausahawan -atau istilah yang sedang tren adalah enterpreuner- yaitu kerja keras dan kemampuan menangkap peluang usaha -dalam hal ini siomay tusuk yang pada saat itu masih asing di kampung saya. Namun bagi Lek Man, bekerja adalah untuk mencari nafkah sekaligus sebagai ibadah, bukan semata untuk mencari keuntungan tiada batas. Filosofi usaha Lek Man tidak lain bahwa hasil yang dia dapat dalam satu hari adalah cukup dan tidak harus berlebih tanpa . Barangkali itulah yang membuat usaha Lek Man masih tetap bertahan sampai saat ini, di saat para pesaingnya –para tetangganya sendiri- bertumbangan dan tidak melanjutkan usaha.

Tentu Henry Lehman dan saudaranya juga mengawali bisnis mereka dengan semangat kekeluargaan, kesederhanaan, hemat dan kerja keras khas kaum imigran. Namun semangat tersebut hilang ketika pada akhirnya Lehman Brothers dikuasai dan dijalankan oleh para monster-monster Wall Street, para pebisnis rakus yang mengandalkan spekulasi dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya, mereka yang disebut oleh Prof. Michael Sabino, profesor bisnis dari St. John’s University telah “...mendapatkan akibat dari kerakusan sendiri, yang sangat berlebihan dalam mencari untung, tanpa mempertimbangkan resiko“. Keserakahan yang pada akhirnya menghancurkan apa yang telah dirintis dengan susah payah oleh Lehman bersaudara. Para pebisnis rakus,

Saya membayangkan, dari dalam kuburnya Lehman bersaudara meratap dan menyesal melihat perusahaannya menjadi salah satu pihak yang bertanggung jawab atas krisis keuangan dunia. Dan di kampung, Lek Man yang selalu tersenyum masih saja mengayuh sepedanya membawa bak penuh siomay yang mengepul, untuk kemudian berhenti dan dikerubuti anak-anak yang menyambutnya dengan riang...



Read more...

Maaf, aku tidak ikut mudik tahun ini…

29.9.08


Hajatan besar itu telah dimulai sejak hari-hari terakhir di bulan Ramadhan. Ribuan orang berdesak-desakan dengan wajah-wajah penuh ekspresi, kardus-kardus yang menumpuk dan tas yang menggembung penuh barang menjadi pemandangan di terminal, bandara dan pelabuhan di berbagai pelosok negeri. Di layar kaca, hampir setiap menit para pembaca berita menyiarkan “acara rutin“ yang menjadi ciri khas dari hajatan ini, mulai dari antrian untuk mendapatkan tiket, kemacetan di jalan raya, kecelakaan, maupun aksi para pelaku kriminal dengan berbagai modus.

Barangkali hanya pada saat seperti inilah bangsa ini benar-benar bisa bersatu dalam arti yang sesungguhnya. Para petugas perhubungan, reporter berita televisi, pemilik bengkel kendaraan, polisi, pedagang asongan, pengusaha jasa angkutan dan tentu saja pemudik itu sendiri berbaur dan berinteraksi dalam sebuah jalinan rumit yang membentuk sebuah ritual akbar massal bernama mudik.


Siapapun boleh mengikuti ritual ini tanpa kecuali. Tidak terlalu tepat jika ada yang mengatakan mudik hanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai salah satu ekses dari urbanisasi dan ketimpangan pembangunan yang terfokus di kota besar. Kenyatannya, para pembesar negeri, para wakil rakyat, profesional muda dan orang-orang kaya juga ikut menjadi “peserta” dalam ritual ini. Jika ada yang membedakan, barangkali hanya jenis dan kualitas moda transportasi yang mereka gunakan. Lebih dari itu, semua punya hak dan keinginan yang sama, yakni kembali ke kampung halaman dan berlebaran bersama keluarga

Khusus untuk tahun ini, pemudik seperti komoditas berharga. Mereka diburu dan diperlakukan seperti raja oleh partai politik atau orang-orang yang berniat untuk menjadi calon penguasa. Toh, atas nama ritual akbar ini, tidak ada yang boleh protes atau merasa dirugikan. Di tengah naiknya berbagai kebutuhan pokok dan biaya hidup yang semakin tinggi, mendapat tawaran mudik gratis dari partai atau calon presiden adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.

Mudik bukan hanya sekedar tradisi pulang kampung untuk berlebaran bersama keluarga dan orang-orang yang dicintai. Lebih dari itu, mudik adalah manifestasi dari kondisi kejiwaan manusia yang selalu rindu pada sebuah titik di mana ia memulai kehidupannya. Karena hidup adalah ibarat perjalanan, maka ada satu titik tertentu di mana manusia merasa lelah dan membutuhkan momen untuk mendapat energi dan memulai lagi perjalanannya, yang bisa ditemukan dengan perjumpaan kembali dengan asal muasal, baik secara fisik maupun rohani. Ibu, kerabat dan saudara, teman masa kecil, sudut-sudut kampung tempat kita biasa bermain, dan juga ziarah ke makam orang tua atau leluhur sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan kepada mereka yang telah membentuk kehidupan kita saat ini. Dan itulah yang dicari dari makna mudik yang sesungguhnya.

Kerinduan dan keterikatan terhadap asal muasal itulah yang barangkali menjelaskan kenapa para pemudik menempuh segala cara dan resiko untuk tetap bisa pulang ke kampung halaman. Bukan hanya biaya perjalanan yang berlipat atau kenyamanan sarana transportasi yang bagi sebagian besar pemudik masih menjadi mimpi, bahkan beberapa dari mereka kadang tidak pernah sampai ke kampung halaman karena harus dirawat di rumah sakit atau meregang nyawa di jalan. Meski demikian, ritual mudik tetap tidak bisa ditinggalkan. Meminjam istilah seorang psikolog, John Holt, mudik adalah ekspresi kerinduan seorang bayi yang selalu kembali ke pangkuan ibunya untuk mendapat energi setelah lelah bermain, begitu seterusnya. Lebih jauh lagi, mudik sesungguhnya adalah pengakuan dan kerinduan manusia terhadap asal muasalnya, yaitu Tuhan sang Pencipta.

Namun, aku memilih absen dari ritual akbar tersebut tahun ini. Bukan karena telah kehilangan identitas dan kesadaran akan asal muasalku. Jika harus memilih, sesungguhnya aku tetap berhasrat untuk pulang dan menyatu sejenak dengan titik sejarahku sendiri. Tetapi ada beberapa pertimbangan yang membuatku harus tetap tinggal di tanah perantauanku. Dan di hari-hari menjelang lebaran seperti ini, aku tetap meniatkan diri untuk mudik secara rohani, di mana hanya batin dan anganku yang kembali untuk menjelajahi setiap sudut rumah tempat aku dibesarkan, membayangkan wajah ibu yang sudah mulai renta, istriku yang menunggu dengan sabar, anakku yang mulai belajar bicara, saudara dan kerabat yang selalu memberikan kehangatan, teman-teman masa kecil yang ikut mewarnai lembar kehidupanku, juga makam Bapak yang sudah beberapa tahun tidak aku kunjungi. Maaf, aku tidak ikut mudik tahun ini...




Read more...

Ketika gagal...

24.9.08

Cuiusvis hominis est errare.
(Marcus Tullius Cicero, 106-43 B.C)


Setiap orang bisa berbuat salah. Beberapa waktu belakangan ini saya menggenggam kuat-kuat ungkapan dari filsuf dan negarawan asal Romawi tersebut dan menjadikannya sebagai mantra penghibur. Kegagalan dan kesalahan yang telah saya lakukan membuat hari-hari terasa berat dan melemahkan energi produktif saya.


Dari kata-kata tersebut, saya menemukan ketenangan sekaligus pembenaran, bahwa siapapun dia, nabi yang saleh, pemimpin hebat atau ilmuwan yang jenius sekalipun pernah berbuat salah, entah kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri. Adakalanya jenis kesalahan dan dampak yang ditimbulkan juga menentukan seberapa kuat dan seberapa cepat seseorang bisa bangkit dari kesalahan tersebut. Namun, yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya adalah kemampuan untuk bangkit yang sekaligus juga menunjukkan seberapa tinggi kualitas seseorang dalam memaknai hidupnya.


Dengan segala kecerdasan, pencapaian kemajuan dan penaklukan yang gemilang atas alam sepanjang sejarah peradabannya, manusia sesungguhnya adalah sosok yang lemah, fragile, dan butuh sesuatu untuk menguatkan. Itulah yang membuat Max Webber mengatakan bahwa agama dibutuhkan untuk membuat seseorang merasa kuat di tengah dunia dan alam semesta yang seolah tanpa batas ini. Beberapa orang lainnya menggantungkan diri pada benda tertentu atau sesuatu yang gaib agar kehidupan sosial ekonominya berjalan dengan baik. Bermacam upaya yang dilakukan semakin meneguhkan bahwa manusia bukanlah apa-apa dan selalu punya potensi untuk gagal dan melakukan sebuah kesalahan.

Namun bahwa kesalahan adalah sesuatu yang manusiawi tentu tidak bisa dijadikan pembenaran dan alasan untuk tidak berkembang. Seorang guru perdamaian, Thich Nhat Hanh, memberikan sebuah pelajaran moral yang sangat berharga dengan cerita tentang bunga dan sampah. Jika hari ini kita mendapat bunga dari seseorang tetapi tidak merawatnya, maka besok pagi bunga tersebut akan menjadi sampah. Namun sebaliknya jika kita memahami cara mengelola sampah yang kita dapat pada hari ini, maka bunga yang indah akan tumbuh dari sampah tersebut.

Sewaktu masih duduk di bangku kuliah, seorang teman yang sedang mengalami persoalan bertanya kepada saya apa yang harus dilakukan ketika gagal atau berbuat salah. Saya tidak bisa menjawab karena saya sendiri juga masih sering kebingungan dan putus asa ketika mengalami hal yang sama. Saya hanya berkata, jika boleh memilih, lebih baik kita maju karena pernah berbuat salah daripada tidak pernah sama sekali. “Lebih baik maju karena kritik daripada hancur karena pujian”, begitu saya mengutip sebuah ungkapan seorang bijak yang tidak saya ingat namanya.

Dan kini, di tengah rasa bersalah yang menghimpit, kata-kata dari para orang bijak begitu menguatkan dan memberi rasa nyaman. Berada dalam dua sisi antara pembenaran dan keinginan untuk bangkit, bagi saya yang hanya orang biasa, kesalahan adalah kritik yang harus dijadikan bahan bakar untuk menjalani hidup dengan lebih baik lagi…



Read more...

Si Kumuh yang jahat versus Si Necis yang baik

8.9.08

Seorang copet digebuki massa…PSK tewas tenggelam di kejar-kejar polisi…seorang ibu bunuh diri karena beban ekonomi…Polisi menggerebek judi togel…

Hampir setiap hari kabar kriminal di atas menjadi menu utama stasiun-stasiun televisi swasta kita. Berbagai macam berita “panas” ditayangkan seperti kasus pembunuhan, pemerasan, pencopet yang ditembak polisi, orang bunuh diri, pencurian sepeda motor, penggerebekan narkoba atau razia PSK di losmen-losmen kecil. Namun dibalik beragamnya modus kejahatan yang diberitakan, ada satu kesamaan fakta yaitu bahwa televisi hanya menayangkan tindak kriminalitas yang baik pelaku dan korbannya kebanyakan adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah, pengangguran atau mereka yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Lokasi kejadian juga identik dengan keberadaan masyarakat kelas bawah, seperti perkampungan kumuh di kota-kota besar, lokalisasi, terminal, atau desa-desa miskin di pedalaman.

Program acara jenis ini pernah menjadi kontroversi karena dianggap berpotensi dalam menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Ada pendapat dimana tayangan kriminal di media massa – cetak atau elektronik- tayangan jenis ini justru akan menimbulkan keresahan psikologis masyarakat. Tayangan tersebut juga dinilai sebagai bukti bahwa media telah menyimpang dari fungsi idealnya yang salah satunya adalah berperan besar bagi terciptanya masyarakat beradab (civil society) karena media adalah sumber informasi dan gagasan yang bermakna bagi masyarakat.

Mereka yang sering diberitakan dalam berita kriminal seringkali adalah mereka yang termasuk dalam kelompok-kelompok masyarakat yang sering disebut kaum marginal, yaitu mereka yang secara sistematis tersubordinasi oleh sistem. Mereka tidak punya akses atas kehidupan yang lebih layak (pekerjaan, tempat tinggal, pendidikan, partisipasi politik) sebagai akibat dari struktur sosial yang sengaja diciptakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang berkuasa demi mempertahankan kepentingan dan kemapanan mereka sendiri.

Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah anak jalanan, petani miskin, buruh, nelayan kecil, kaum miskin kota, PSK, dan pengangguran, penyandang cacat. Di Indonesia, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi awal 1997 sampai saat ini di mana kondisi politik dan ekonomi masih belum stabil, warga negara yang termasuk dalam kategori kaum marginal semakin bertambah. Saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan sebanyak 45 juta jiwa dan angka pengangguran mencapai 12 juta orang.

Selain tayangan televisi, banyak surat kabar yang mengambil segmen khusus berita kriminal. Yang muncul dalam berita itu tentu kasus-kasus kelas teri seperti pencurian, pemerasan dan pencopetan, ditambah dengan pemuatan judul bombastis dan foto pelaku atau korban tindak kriminal.

Namun bukannya dibantu untuk mendapatkan akses atas ekonomi politik sosial dan budaya (Ekosob) yang menjadi hak asasi mereka, kaum marginal seakan semakin dipojokkan oleh struktur sosial yang memperlakukan mereka sebagai warga kelas dua. Salah satunya adalah melalui tayangan berita kriminal di televisi atau koran kuning yang ikut memberi gambaran bahwa kaum marginal adalah bukan bagian dari kelompok masyarakat kebanyakan.

Lee Loevinger (1968) mengemukakan teori komunikasi yang disebutnya sebagai “reflective-projective theory”. Teori ini beranggapan bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang mencerminkan suatu citra yang ambigu menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam, sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya. Media massa mencerminkan citra khalayak, dan khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa.

Jadi pendapat Leo Loevinger tersebut benar karena berbagai tayangan kriminal di televisi dan di koran secara tidak langsung menjustifikasi mereka yang termasuk dalam kaum marginal adalah mereka yang sering membuat onar dan aksi kriminal di lingkungan masyarakat. Muncul persepsi dan stigma yang kuat bahwa kaum marginal identik dengan tindak kekerasan, perampokan, penodongan, pencabulan, pencurian atau pembunuhan.

Bahkan pelecehan martabat kemanusiaan itu juga dilakukan sampai detail. Dalam tayangan televisi, kaidah jurnalisme yang seharusnya melindungi privasi dan kerahasiaan identitas pelaku kejahatan juga dilanggar. Tanpa mengenal “belas kasihan”, kamera televisi tidak hanya mengejar dan menambil gambar pelaku, tetapi juga ekspresi ketidakberdayaan keluarga korban, bahkan juga sudut-sudut rumah yang merupakan ruang privat seseorang. Beberapa diantara para pelaku kemudian seperti dipaksa untuk menjawab pertanyaan dari para wartawan dengan dibantu aparat keamanan, bahkan ketika pelaku sudah tidak berdaya akibat amukan massa atau secara psikologis merasa malu pada publik.

Nurani dan nilai kemanusiaan dikalahkan oleh kepentingan pasar, baik itu rating di media elektronik, atau kenaikan tiras di media cetak. Inilah ironi yang saat ini ditampilkan oleh media massa kita yang semakin hari semakin memperlihatkan ketidakberpihakannya pada kaum marginal lewat tayangan pemberitaan masing-masing.

Dan dasar nasib mereka yang sudah kalah, televisi jarang memberitakan motif dan penyebab suatu tindakan kriminal tidak digali secara mendalam. Maka asumsi yang tertanam dalam benak publik kemudian adalah bahwa tindakan kriminal tersebut dilakukan semata akibat dorongan sifat dan jahat pelaku saja. Misalnya pemberitaan seorang pemulung kecil mencuri tape recorder karena tidak punya uang, seorang pengamen membunuh temannya karena kesal diejek, atau seorang lelaki yang bunuh diri. Tidak ada tayangan yang menampilkan sisi pemberitaan yang mengungkap bagaimana anak kecil tersebut bisa menjadi pemulung, bagaimana susahnya lapangan kerja membuat pemuda tersebut terpaksa mengamen, atau bagaimana kemiskinan memaksa seseorang nekad mengakhiri hidupnya.

Kondisi yang berbeda nampak dari cara media memperlakukan dengan istimewa terhadap pelaku kejahatan kerah putih. Jika seorang pejabat melakukan tindak pidana korupsi, media seakan berpihak dengan model pemberitaan yang mengesankan bahwa kasus itu bukanlah kejahatan kriminal yang meresahkan. Televisi menggelar dialog atau mewawancarai pelaku korupsi atau pengacara mereka yang ujung-ujungnnya menempatkan pelaku tindak pidana kerah putih mempunyai status sosial lebih tinggi, lengkap dengan para pakar yang berkomentar baik pro atau kontra, sehingga muncul kesan pejabat tersebut tidak sepenuhnya bersalah.
Hanya karena kepentingan nilai jual, format tayangan atau berita kriminal yang ada di televisi atau surat kabar kita secara tidak langsung telah membuat kaum marginal sebagai kelompok warga yang harus dicurigai dan diwaspadai karena setiap saat bisa merugikan warga lain yang secara status sosial lebih mapan. Dampak yang lebih besar adalah semakin sulitnya kaum marginal untuk mendapatkan pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, administrasi dan lain sebagainya.

Meski demikian, tayangan berita kriminal tersebut menjadi tayangan yang cukup digemari masyarakat kita saat menanti makan siang atau menunggu antrian di bank atau di bandara. Jadi, jayalah pemilik televisi, pemilik koran, dan terimalah nasibmu wahai para kaum miskin, pencopet, dan warga pemukiman kumuh…



Read more...

Sang Kurir Cinta

19.8.08


Tuhan mengirimkan surat cintanya kepada orang tua lewat
setiap bayi yang dilahirkan ke dunia…


Rabu, 9 Juli 2008. Jam menunjukkan 15.30 ketika sang “Kurir Cinta dari Tuhan” itu hadir. Kami menamainya Freya Naury Ein’elia Amsa. Sebuah doa dan harapan agar ia menjadi seperti cahaya yang mendamaikan dan mata air yang berguna bagi semua orang.

Kelak, saya akan bercerita bahwa perjuangan ibunya saat melahirkan dia adalah salah satu bukti dari keagungan Tuhan sekaligus sebuah drama yang menegangkan. Sebuah proses kelahiran seperti yang dialami oleh hampir semua perempuan di dunia, namun bagi saya –dan juga para lelaki yang menunggui kelahiran bayi mereka- adalah sebuah pengalaman yang membekas dalam ingatan dan kesadaran. Drama yang berlangsung selama empat jam, lengkap dengan klimaks dan antiklimaks, dimulai dari kontraksi terus menerus dan rasa sakit luar biasa, putus asa karena sang bayi tidak juga keluar, detak jantung yang melemah karena kehabisan oksigen, sikap pasrah bercampur kepanikan, dan selebihnya adalah sebuah akhir yang membahagiakan.

Karena ikut menunggui detik-detik kelahirannya, saya semakin menyadari bahwa manusia ini adalah makhluk yang dhaif (lemah). Ilmu medis memang sudah berkembang dengan canggih, namun bagi saya dalam sebuah proses kelahiran ada Tuhan yang ikut “campur tangan” dengan segala kebesaran dan kekuasaan-Nya. Di tengah rintihan kesakitan istri, kesibukan bidan yang bekerja bagai mesin otomatis, dan waktu yang melambat seperti tiada akhir, yang bisa saya lakukan hanya berdoa habis-habisan, membuang rasionalitas dan harapan pada kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran, dan terhenti pada titik kesadaran di mana Tuhan adalah sang penentu.
Di tengah drama itu pula wajah ibu saya hadir dan menari-nari di pelupuk mata, dan ketika semua selesai dengan akhir yang membahagiakan, terngianglah petuah bahwa apa yang telah kita lakukan belumlah apa-apa dibanding ketabahan dan perjuangan seorang perempuan yang bersusah payah melahirkan kita. Ibu, Bunda, Emak atau apapun kita memanggilnya, adalah seperti nabi yang harus menderita dalam tugas yang diembannya masing-masing. Jika nabi harus dicaci maki, dilempar kotoran atau terluka saat menyampaikan sabda suci dari Tuhan, perempuan yang melahirkan harus menderita karena rasa sakit dan berada dalam garis tipis antara melahirkan dengan selamat atau mati syahid saat berjuang menghadirkan makhluk Tuhan yang juga suci ke dunia ini.

Konon, sebelum dilahirkan ke dunia, setiap bayi berbicara kepada Tuhan bahwa mereka takut berada di dunia yang penuh kejahatan. Mereka lebih senang dengan suasana surga yang hangat serta penuh kasih sayang dari Tuhan dan para malaikat. Tuhan lalu berkata kepada sang bayi bahwa ia akan ditemani oleh malaikat yang akan bertugas untuk selalu melindungi dan memberi kasih sayang kepadanya. Malaikat itu adalah ibu, yang sejak hari pertama sang janin tumbuh, lalu bulan-bulan yang dalam Qur’an digambarkan sangat merepotkan (wahnan ‘ala wahnin), saat melahirkan, menyusui dan sampai tahun-tahun seterusnya adalah seperti cermin yang memantulkan kasih sayang Tuhan, atau samudera yang mampu menampung segala keluh dan ketidakberdayaan seorang anak dengan penuh rasa cinta dan kesabaran .

Setiap bayi lahir dalam lantunan doa-doa dan harapan, lewat nama maupun upacara selamatan, agar sang bayi kelak menjadi orang yang baik dan berguna. Pembunuh, maling, perampok, teroris atau orang gila di jalanan pada dasarnya adalah mereka yang dalam hatinya masih tersimpan energi cinta dari Tuhan. Jika pada akhirnya seseorang tidak menjadi seperti yang diharapkan, maka lingkungan tempat ia dibesarkan, model pendidikan yang ia dapat, dan kondisi sosial yang membuat mereka belum mampu menemukan energi cinta dalam dirinya sendiri. Begitu pula presiden, menteri, pengusaha, kiai, orang kaya, orang miskin, cantik, tampan atau bagaimanapun bentuk kehidupan yang dijalani setiap orang pada dasarnya memiliki kesamaan sebagai manusia yang dulunya lahir tanpa membawa apapun selain tangis dan kebingungan. Pangkat, predikat atau label adalah sesuatu yang tidak kekal, namun kemampuan menemukan dan memanifestasikan energi cinta dari Tuhan dalam kehidupan adalah sesuatu yang bisa membuat seseorang lebih bernilai di hadapan Tuhan dan tetap abadi dalam ingatan sejarah manusia itu sendiri.

14 Juli 2008, di akhir empat jam drama yang menegangkan, saya seperti terlempar ke masa lalu yang tak pernah bisa saya ingat sekaligus masuk pada sebuah ruang kesadaran, bahwa menjadi apa kita, apa yang kita lakukan dan sejarah macam apa yang akan kita catat kelak akan menjadi bakti dan bukti cinta bagi ketabahan seorang perempuan yang melahirkan kita. Begitu pula, bagaimana mendidik dan lingkungan seperti apa yang kita ciptakan untuk mendukung perkembangan anak-anak kita akan menjadi cara untuk membalas surat cinta yang dikirimkan Tuhan, sang pemilik Kasih dan Cinta sejati.




Read more...

Rembang 1 : Gus itu….

6.8.08

Sebuah siang yang panas di bulan Maret tahun 2003. Setelah dihempas selama beberapa jam dalam bis yang penuh sesak tanpa AC dari Semarang menuju Rembang, kami terhuyung-huyung keluar, tepat di depan pasar yang terletak di sebuah sudut persimpangan jalan yang menghubungkan Rembang dengan Tuban. Tujuan pertama kami adalah sebuah warung, tempat kami mengisi perut dengan sepiring nasi pecel dan es teh. Beberapa lelaki berkulit legam nampak asyik mengolesi batang rokok dengan ampas kopi. Di meja tempat kami makan, terlihat puluhan batang rokok yang sudah diolesi ampas kopi berjejer rapi.

Kepada salah seorang dari lelaki pengoles rokok tersebut, kami menanyakan alamat yang akan kami tuju. Berbekal informasi yang ada, kami lalu berjalan melewati jalan kampung yang teduh penuh rimbun pepohonan tua, sembari sesekali membicarakan sosok yang akan kami temui. Seorang kiai muda yang namanya cukup terkenal di wilayah Rembang. Setelah berjalan beberapa saat, lamat-lamat terdengar suara yang berasal dari pengeras suara. Suara seseorang yang sedang memberikan pengajian dengan menggunakan metode khas pesantren, yaitu membaca kitab dalam bahasa Arab dan menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat. Di sebuah gang sempit yang membawa kami menuju sumber suara, kami melewati barisan orang-orang yang rata-rata sudah berusia sepuh yang dengan khusyu’ menyimak kitab kuning sambil bersimpuh di emperan setiap deretan rumah. Kami bertanya sekali lagi, untuk kemudian dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan.

Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah seseorang berusia sekitar 30-an, berbadan sedikit gempal dengan wajah yang terlihat teduh dan ramah. Mengenakan baju koko yang nampak longgar dan kopiah putih, senyumnya mengembang menyambut kami. Setelah berkenalan, kami menyampaikan maksud, yaitu mahasiswa yang sedang mengadakan penelitian tentang tradisi keagamaan lokal dan bermaksud mencari tumpangan selama beberapa hari. Dengan halus, Gus muda tersebut meminta maaf karena tidak bisa membantu karena sampai saat ini pondoknya hanya untuk santri laki-laki dan tidak bisa menampung seorang perempuan –istri saya saat ini. Setelah itu kami terlibat obrolan hangat seputar penelitian, asal dan hal-hal lainnya. Sebuah sambutan yang tulus, meski belakangan kami menyadari telah menghentikan sejenak kesibukan sang Gus memberikan pengajian kepada santri-santrinya dengan pengeras suara tadi.

Pada awalnya, kami hanya tahu sedikit informasi tentang sosok kiai muda tersebut. Menurut seorang tokoh masyarakat Rembang yang memberikan informasi pada kami sebelumnya, Gus ini adalah seorang kiai muda yang cerdas, kharismatik, tapi sederhana. Banyak politisi dan orang-orang berpengaruh datang kepadanya untuk kepentingan politik tertentu, namun kiai muda ini menampiknya. Ia hanya berkonsentrasi mengurusi pesantren peninggalan almarhum ayahnya yang juga salah seorang kiai besar di Rembang, sambil berkhidmat menemani ibunya yang sudah sepuh. Konon Gus ini punya ilmu laduni, ilmu hikmah yang dipercaya orang Islam hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu karena kedekatannya dengan Allah.

Saya masih mengingat betul suatu siang di bulan Maret 2003 itu. Penolakan sang Gus terhadap tujuan awal kunjungan kami sedikitpun tidak menimbulkan rasa kecewa, bahkan sebaliknya kami merasa mendapat begitu banyak hikmah berharga –baik moral maupun spiritual- dari obrolan kami dengan Gus muda yang sederhana tersebut. Keramahan dan kehangatannya saat menyambut kami yang notabene “orang asing” benar-benar menunjukkan sikap seorang yang berilmu tinggi namun tetap rendah hati dan terbuka

Dan saat ini, di hari-hari gaduh menjelang pesta demokrasi, saya kembali teringat sosok dan senyum ramah sang Gus muda. Hari-hari di mana begitu banyak pembesar di negeri ini yang merasa paling pintar, saling berpacu mendeklarasikan dirinya sebagai yang terpilih dan paling layak memimpin, tapi sesungguhnya jejak rekam yang dimilikinya jauh dari kualitas seorang pemimpin. Pepatah Jawa bilang rumongso iso ning ora iso rumongso, atau orang yang merasa bisa tapi tidak bisa merasa atau berefleksi apakah dia pantas atau tidak. Sebaliknya, Gus muda tadi adalah cermin pemimpin yang meski punya pengaruh, pintar dan begitu dihormati oleh orang banyak tetapi justru menghindar dari popularitas, dan lebih memilih mengabdi dalam ‘’kesunyian’’ dan kerendahhatian. Sosok pemimpin yang menyediakan tenaga, pikiran dan waktunya untuk orang-orang yang membutuhkan sesuai dengan kemampuannya. Sosok yang senantiasa dicintai bukan karena polesan citra, tapi kerja nyata, bukan mereka yang merengek-rengek dan menjual harga dirinya hanya untuk meraup nominal suara demi mencapai kursi kekuasaan.

Teringat Gus muda di sebuah pesantren di Rembang, saya sungguh merasa bersyukur bahwa di tengah hingar-bingar iklan pemmpin yang pamer kepintaran dan kekayaan, masih ada sosok panutan yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat dengan penuh keikhlasan dan kerendahhatian.



Read more...

Mengaji Damai di Davao

11.6.08

Mulai tanggal 19 Mei - 6 Juni 2008 kemarin saya mendapat kesempatan mengikuti kursus peacebuilding di Mindanao Peacebuilding Institute (MPI) di Davao City, Mindanao, Philipina. Kursus yang tahun ini memasuki tahun ke-9 sejak mulai diselenggarakan pada tahun 2000 merupakan proyek kerjasama beberapa lembaga kemanusiaan internasional yaitu CRS, CAFOD dan MCC.

Saya dan teman satu kantor, Didik, berangkat dari Jakarta transit Manila untuk kemudian langsung menuju Davao City yang terletak di pulau Mindanao. Mindanao selama ini adalah ibarat ‘Aceh”nya Philipina, sebuah wilayah di sebelah selatan Philipina di mana sebuah komunitas yang menyebut dirinya sebagai Bangsa Moro sedang berjuang (memberontak???) untuk memperoleh kemerdekaannya dari Philipina. Di Indonesia, nama Mindanao atau Moro barangkali identik dengan kamp latihan teroris, di mana nama-nama “beken” dalam dunia teroris seperti Amrozi Cs, Dulmatin dan Umar Patek konon belajar membuat bom dan latihan perang di pulau ini.


Kursus yang saya ikuti ini terdiri dari berbagai macam topik atau kelas. Setiap kelas berlangsung selama 1 minggu, dan peserta diminta untuk mendaftar sesuai dengan latar belakang dan minat masing-masing. Saya sendiri mengambil kelas “Introduction to Peace Education” di minggu 1, kemudian kelas “Religion: Peacebuilding in Multicultural Society” di minggu 2, dan kelas “Formal and Informal Aprrocah To Peace Education” di minggu ke 3. Saya sendiri memilih 3 kelas tersebut karena posisi di tempat saya bekerja adalah di bidang pendidikan.

Selain memperoleh kesempatan berharga untuk “mengaji” berbagai topik perdamaian tersebut, kesempatan berharga lainnya adalah bertemu dan sharing pengalaman dengan lebih dari 130 praktisi peacebuilding dari LSM kemanusiaan internasional, perwakilan gereja, komunitas lintas agama, organisasi masyarakat sipil, akademisi, kelompok perempuan dan organisasi sipil lainnya yang mempunyai perhatian dalam proses-proses perdamaian Mereka datang antara lain dari Indonesia, Amerika Serikat, India, Thailand, Bangladesh, Kamboja, Australia, Jerman, Kepulauan Fiji dan beberapa negara lainnya.

Dari Indonesia sendiri selain saya dan teman saya dari JRS, para pesertanya berasal dari beberapa lembaga kemanusiaan yang kebanyakan mempunyai program di Aceh. Selain itu ada juga peserta dari Forum Lintas Agama Surakarta, serta perwakilan dari lembaga gereja Toraja dan Papua. Total peserta dari Indonesia lebih kurang 19 orang

Yang menarik adalah peserta dari tuan rumah. Mereka kebanyakan diwakili oleh LSM yang dibentuk oleh masyarakat Moro yang tergabung dalam Consorsium Bangsamoro Civil Society (CBCS). Selain itu, yang lebih mengesankan bagi saya adalah hadirnya peserta yang merupakan tentara dari AFP(Armed Forces of Philipine). Sejak mulai diselenggarakannya kursus ini pada tahun 2000, AFP telah beberapa kali mengirimkan para personelnya. Tidak tanggung-tanggung, kali ini mereka mengirimkan sekitar 10 tentara, yang sebagian besar diantaranya adalah perwira menengah dengan pangkat tertinggi kolonel. Di kelas IPE yang saya ikuti ada 2 orang tentara, seorang Letnan Kolonel dan seorang perwira muda berpangkat Letnan Dua. Selama proses belajar, para tentara ini sangat akrab dan membaur dengan peserta lainnya, bahkan saat menyampaikan gagasan atau komengtar selalu dengan gaya yang santun dan cerdas tanpa sekalipun menunjukkan sikap arogan dan pamer kekuatan khas ala tentara. Di Indonesia?Wallahua’lam…

Sedikit tentang di IPE
Minggu pertama di kelas Introduction to Peace Education (IPE) yang saya ambil diikuti oleh sekitar 30 orang. Metode yang dipakai seperti kebanyakan training pada umumnya, antara lain eksplorasi masalah, diskusi kelompok, presentasi dan role play. Setiap peserta diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan gagasan ataupun sharing pengalaman yang berhubungan dengan topik yang sedang dibahas.

Ide utama dari IPE ini adalah bagaimana membangun budaya damai, yaitu menumbuhkan nilai, perilaku, cara hidup yang mendukung terciptanya suasana damai. Sedangkan tujuan dari Pendidikan (untuk) Perdamaian yaitu memberikan pemahaman dan kesadaran tentang akar konflik, kekerasan dan ketidakdamaian dalam lingkup personal, interpersonal, komunitas, nasional, regional dan internasional.

Kajian utama dalam kelas IPE ini meliputi beberapa isu-isu global terkini yang dinilai bisa berpotensi menyebabkan terjadinya konflik kekerasan dalam skala besar, antara lain adalah isu tentang keadilan sosial global. Kajian ini menjadi favorit saya karena membahas tentang problem kesenjangan antara negara kaya dan miskin, hutang LN, globalisasi serta liberalisasi.
Selain itu juga kajian tentang upaya menanamkan spirit perdamaian dalam diri, di mana poin ini membahas tentang kecenderungan individu untuk berkompetisi secara berlebihan, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup, gaya hidup konsumtiv dan kecenderungan masyarakat mengalami rasa keterasingan dan kehilangan makna hidup.

Kemudian juga kajian tentang upaya melawan budaya perang dan kekerasan yang saat ini dinilai tidak saja muncul dalam bentuk kekerasan yang nyata, melainkan juga karena maraknya budaya kekerasan yang muncul lewat media seperti televisi, film dan games.

Kajian lainnya adalah tentang HAM di mana dalam konteks ini membahas tentang berbagai kasus kekerasan yang menyangkut hak sipil dan politik warga, hak ekonomi sosial budaya, kekerasan terhadap Indigeneous Peoples, kekerasan terhadap hak pengungsi, perempuan serta anak jalanan. Lalu ada juga kajian tentang upaya membangun sikap saling menghormati antarbudaya, rekonsiliasi dan solidaritas. Terakhir adalah persoalan ancaman kerusakan lingkungan dan keterbatasan sumber daya alam yang saat ini menjadi isu hangat di tingkatan global di mana kerusakan lingkungan dinilai bisa menjadi isu utama perdamaian beberapa tahun ke depan.

Dari hasil “mengaji” selama minggu pertama ini, saya bisa mendapatkan gambaran bahwa pendidikan perdamaian tidak hanya mencakup satu dimensi saja, misalnya membangun moral atau spiritual individual. Lebih dari itu, Pendidikan Perdamaian juga merupakan upaya mencegah konflik yang mungkin akan timbul dengan mengurai akar potensi konflik yang ada di masyarakat dari dimensi sosial, politik dan ekonomi dan juga lingkungan, dengan mengikuti isu lokal maupun global yang terus menerus berubah. Beberapa isu tersebut kemudian harus bisa diterjemahkan oleh para praktisi peacebuilding ke dalam berbagai macam kegiatan/program pendidikan dan penyadaran di masyarakat agar mereka mampu memahami dan mengatasi setiap potensi konflik yang ada.




Read more...

Melihat Hukum Cambuk, Melihat Wajah Kita

5.5.08



Saya pernah menyaksikan secara langsung pelaksanaan pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh, tepatnya di Kabupaten Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat. Menyaksikan pelaksanaan hukum cambuk secara langsung ternyata berbeda dengan melihat tayangan hukuman tersebut di TV atau membaca dari media cetak. Banyak sisi lain dari pelaksanaan hukum cambuk tersebut
yang sebenarnya mencerminkan realitas yang terjadi di masyarakat dan bisa jadi merupakan wajah masyarakat kita sendiri.

Selesai sholat Jum’at, ketika matahari tengah panas-panasnya, ratusan orang mulai berduyun-duyun datang ke depan Masjid Agung Nagan Raya. Di halaman masjid telah berdiri sebuah panggung yang penuh hiasan, layaknya sebuah panggung untuk pertunjukan hiburan. Di samping panggung, terdapat sebuah tenda yang menaungi deretan kursi empuk berukir, di mana beberapa pejabat lokal, baik dari pemda maupun pejabat penegak hukum serta para ulama duduk dengan jumawa menyaksikan rakyat dan umatnya sambil menikmati makanan dan minuman kecil yang terhidang. Tidak ketinggalan, dari sound system yang sudah disiapkan oleh panitia pelaksana hukuman cambuk mengalun musik-musik yang bernuansakan Islami.

Ketika waktunya tiba, sebuah mobil tahanan masuk ke halaman masjid. Segera saja massa berdesak-desakan mengerumuni mobil berwarna hijau tua, ingin tahu lebih dekat wajah-wajah sang terhukum yang hanya bisa tertunduk saat keluar dari mobil tahanan. Lalu dimulailah prosesi pelaksanaan hukuman. Seorang petugas membacakan susunan acara pelaksanaan hukuman, diantaranya pembukaan, pembacaan Al Quran, tidak lupa juga sambutan-sambutan dari para pejabat lokal. Dalam sambutannya, seorang pejabat lokal mengatakan bahwa acara hari tersebut adalah bukti keseriusan pemda untuk menerapkan syariat Islam. Bahwa hukuman ini hendaknya menjadi hukuman yang pertama dan yang terakhir. Bahwa syariat Islam adalah keharusan untuk menghilangkan penyakit masyarakat seperti judi, minuman keras dan zina dan sebagai upaya untuk menerapkan ajaran Islam secara Kaffah (total, menyeluruh).

Satu persatu para tahanan yang berpakaian putih-putih dibawa naik ke atas panggung sambil tertunduk lesu dan pasrah. Seorang aparat hukum setempat menerima 4 buah rotan (sesuai dengan jumlah terhukum) dari seorang pejabat lokal, dan dengan bangga mengacung-acungkan cambuk itu ke udara seperti mengacung-acungkan piala kemenangan sebuah kejuaraan. Lalu dimulailah acara “suci” itu. Dua orang algojo dengan muka tertutup bersiap dengan mengenggam sebuah cambuk, atau lebih tepat tongkat rotan sepanjang lebih kurang 1 meter dan diameter 0,75 milimeter. Satu-persatu para terhukum menerima cambukan di punggungnya, masing-masing sebanyak tujuh kali. Setiap kali mereka selesai menerima cambukan, para terhukum dibawa turun dari panggung, bersalaman dengan bapak-bapak pejabat, menerima bingkisan, lalu kemudian di bawa masuk kembali ke mobil tahanan. Begitu terhukum terakhir selesai dicambuk dan dibawa ke mobil tahanan, secepat itu juga kerumuman massa bubar. Orang-orang berdesak-desakan, raungan kendaraan bermotor, wajah-wajah yang beragam ekspresi. Mirip dengan situasi saat selesainya pertunjukan konser musik atau sepakbola. Lalu, panggung dan halaman masjid pun sepi kembali.

Pada saat itulah fikiran saya bergejolak. Banyak pertanyaan yang tiba-tiba meluap dalam otak. Saya ingin mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah, atau tidak tepat, atau apapun yang menurut saya tidak pada tempatnya. Sebagai muslim, memang saya tidak terlalu faham secara detail mengenai dalil-dalil Fiqh yang berkaitan dengan hukum cambuk, rajam atau potong tangan. Saya hanya menulis dalam konteks sosial berdasarkan apa yang saya lihat dan nyata.

Pertama, setting tempat pelaksanaan hukuman di mana para pejabat dengan santai melihat pelaksanaan hukuman tersebut, di bawah tenda yang teduh, duduk di kursi empuk, dengan makanan dan minuman terhidang di meja, kontras dengan massa yang harus berdesak-desakan dalam terik matahari sambil sesekali di halau oleh petugas karena dianggap tidak tertib. Para pejabat tersebut seakan-akan adalah pihak yang mempunyai otoritas penuh dengan segala macam aturan, membuat aturan, atau bahkan menentukan siapa-siapa saja yang pantas dihukum. Mereka seakan-akan adalah the untouchable, kebal dan bahkan mungkin suci dari segala tindak maksiat. Masih terlihat jelas kentalnya budaya feodalisme, di mana pejabat adalah gusti, raja, pihak yang mempunyai kekuasaan penuh dan berhak mendapat perlakuan istimewa bahkan dalam menonton sebuah pelaksanaan hukuman, sementara rakyat adalah kawula, abdi, bawahan yang harus rela berpanas-panas. Sebuah proses diskriminasi antara penguasa dengan rakyatnya, yang ironisnya terjadi pada pelaksanaan sebuah “ritus” yang bertujuan untuk menegakkan agama Islam yang tidak mengenal pembedaan status antara pemimpin dan rakyat.
Kedua, setting tempat pelaksanaan hukuman menunjukkan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk adalah sebuah tontonan atau pertunjukan yang harus disaksikan. Panggung, penonton, pelaku dan susunan acara menunjukkan jelas hal tersebut. Dalam pertunjukan drama atau teater, aktor adalah subyek yang menjadi pusat dan penonton adalah obyek yang berada di luar lingkaran.

Saya jadi teringat teori dramaturgi dari sosiolog Amerika Erving Goffman (1959). Goffman mengasosiasikan kehidupan seperti sebuah panggung drama. Ada "wilayah depan" (front stage) yang merupakan tempat individu atau suatu tim menampilkan peran tertentu untuk ditonton oleh publik atau masyarakat umum dan "wilayah belakang" (back stage) tempat atau peristiwa yang memungkinkan mereka mempersiapkan diri, merias dan berlatih sebelum tampil di wilayah depan. Goffman berpendapat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan kehidupan sebenarnya di belakang panggung (back stage). Seorang aktor saat di berperan di front stage akan berusaha untuk memainkan peran sebaik-baiknya, dibatasi oleh oleh konsep-konsep tertentu agar penonton memahami tujuan dari pertunjukan. Sedangkan saat di back stage, di mana tidak ada lagi penonton, sang aktor akan berperilaku berbeda sama sekali dengan karakter yang dimainkan. Sesuatu yang dipertontonkan dengan meriah di atas panggung itu biasanya sangat bertolak belakang dengan kondisi di belakang panggung. Apa yang dilihat oleh khalayak adalah dunia semu yang berakhir saat pertunjukan selesai.

Dalam konteks teori dramaturgi Goffman, pertunjukan hukum cambuk sudah direkayasa sedemikian rupa demi sebuah pesan tertentu. Peran aktor dalam hukum cambuk, yaitu para algojo, pejabat dan terhukum tidak sepenuhnya merepresentasikan perilaku mereka yang sebenarnya. Sang pejabat bukan orang yang sama sekali bersih dari maksiat, algojo tidak sekejam seperti saat mencambuk, dan terhukum tidak benar-benar jahat dalam kehidupan kesehariannya. Dan penonton pada akhirnya disuguhi sebuah drama yang bertolak belakang dengan realitas yang sesungguhnya.

Selain itu, pesan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan hukum cambuk kepada khalayak agar orang jera berbuat maksiat juga sebuah pandangan yang terlalu sederhana. Apa yang bisa di dapat dari tontonan sekilas lalu? Sudah terbukti bahwa keunggulan manusia modern yang penuh dengan prestasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi juga menyisakan paradoksnya sendiri. Kelemahan manusia modern saat ini adalah ketidakmampuan mencerap berbagai fenomena dan tanda yang ada di alam semesta ini dengan menggunakan intuisi dan hati nurani. Kelemahan yang diakibatkan kecanggihan akal manusia yang terlalu sibuk membuat benda-benda baru, mesin-mesin baru, penemuan-penemuan baru untuk kemudian menjualnya.

Kapitalisme (atau apapun anak kandung modernisme) telah membuat setiap detik kehidupan manusia disibukkan untuk membeli benda, menjual benda, memiliki benda, menikmati benda dan sebagainya. Akibatnya ribuan informasi yang diterima oleh otak, ribuan kata-kata yang terdengar oleh telinga, ribuan kata-kata yang terlontar dari mulut, ribuan benda-benda yang ditangkap oleh mata setiap hari menjadi sesuatu yang profan dan kosong. Semuanya ditangkap sebagai benda dan simbol, bukan ruh dan makna. Lalu benda dan simbollah yang dianggap utama dan diburu sebagai tujuan hidup. Dan agama yang sebenarnya lebih sarat dengan makna dan ruh pun dianggap sama dengan benda atau dibendakan, dikampanyekan, digembar-gemborkan, didakwahkan melalui kebanggan akan megahnya masjid dan gereja, jilbab, hukum cambuk, partai, baju, dan sebagainya.

Jika hanya simbol yang dikedepankan tanpa pernah ada komitmen untuk menggali makna dari simbol, maka menonton hukum cambuk yang diharapkan menciptakan efek jera tak ubahnya seperti menonton infotainment, iklan, sinetron atau pertandingan bola yang hadir setiap hari di televisi. Pada akhirnya, sebuah agama yang ajarannya ditegakkan dalam sebuah tontonan akan kehilangan esensinya, yaitu kedamaian yang dipetik dari cinta kasih kepada sesama, keteraturan yang didapat dari berbuat adil dan menghormati hak orang lain, dan keindahan yang tergambar dari kekhidmatan dan kepasrahan pemeluknya dalam setiap ritual ibadah.

Ketika agama hanya menjadi simbol dan tontonan, maka ia hanya menyisakan sesuatu yang terlihat, bukan sesuatu yang harus dicari dan digali. Cara keberagamaan yang menonjolkan simbol adalah keberagamaan yang sepotong-sepotong, dangkal dan selesai. Cara keberagamaan yang seperti itulah yang berbahaya karena bertindak berdasarkan aturan yang diyakini sudah final dari teks-teks kitab suci, tanpa menyediakan ruang untuk ijtihad dan melihat konteks yang ada. Di sini terdapat sebuah paradoks karena cara beragama yang dangkal juga mustahil mencapai apa yang disebut sebagai cara beragama yang kaffah (total, menyeluruh) sebagaimana yang sering dicita-citakan oleh para pendukung syariat Islam. Orang dianggap suci dan santri dari hitam atau putihnya peci yang dia pakai, tebalnya lilitan surban yang membelit kepala, jubah panjang, ratusan ayat yang di hafal, atau panjangnya jenggot yang ia pelihara. Agama sudah tegak jika ada hukum cambuk, polisi syariat, jilbab dan berbagai simbol lainnya.
Jika cara keberagamaan itu yang dipakai, maka tidak aneh jika judi, minuman keras, pencurian hanya dilihat sebagaimana memotong batang rumput liar yang mengganggu, bukannya dicabut sampai keakar-akarnya. Orang yang berjudi, minum minuman keras mencuri dan berzina dianggap sebagai orang yang memang bejat moralnya, tanpa melihat kompleksitas persoalan yang antara lain menyajikan realitas bahwa tindak kriminalitas adalah wujud ekspresi dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup yang makin tinggi.

Dan bahkan dalam pelaksanaan hukum cambuk tadi, bukankah paradoks Islam kaffah itu terjadi dalam pemisahan tempat antara penguasa atau pemimpin dengan rakyat biasa? Bukankah dalam Islam terdapat hadits yang mengatakan “…sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa”. Kenapa ulama yang hadir tidak meluruskan hal itu? Apakah mereka takut kehilangan hak istimewa mereka jika mereka menegur aturan yang di buat umara (pemimpin)nya?

Ketiga, berkaitan dengan hukum cambuk itu sendiri. Tujuan dari dari ditetapkannya hukum cambuk bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan masyarakat. Tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa judi, minuman keras, zina atau prostitusi dan tindak maksiat lainnya akan bisa hilang begitu saja. Dulu orang malu dan dianggap hina jika pernah menjadi narapidana dengan tato di badan atau pernah dipenjara . Nyatanya saat ini penjara tetap saja penuh dan tato malah menjadi gaya hidup. Di mana-mana kasus kriminalitas cenderung meningkat seiring dengan semakin sulitnya kehidupan ekonomi. Bisakah kebebasan yang terampas selama bertahun-tahun di gantikan dengan rasa sakit yang tidak seberapa dan rasa malu yang hanya berlangsung sesaat? Ketika di cambuk, mereka mungkin malu. Tapi bukankah rasa malu itu bisa hilang selama beberapa saat, dan kemudian orang bisa melakukannya lagi sebagaimana ada orang yang tidak jera keluar masuk penjara? Bukankah nanti ketika hukum cambuk menjadi acara yang sudah umum dan berlangsung setiap hari atau setiap minggu dengan jumlah terhukum yang banyak, orang menjadi terbiasa sebagaimana penjara yang tidak lagi menakutkan dan memalukan?

Terbukti, kenyataan di lapangan sungguh menunjukkan betapa kompleksnya persoalan. Hampir setiap hari di koran lokal Serambi Indonesia memuat berita tentang kasus khalwat, berjudi atau razia minuman keras. Tindakan para anggota WH (Wilayatul Hisbah) atau Polisi Syariat yang merazia kafe, warung-warung, dan tempat-tempat yang dianggap menjadi sarang maksiat juga dinilai cenderung arogan dan tanpa etika.

Lebih dari itu, persoalan utama adalah pelaksanaan syariat yang terkesan diskriminatif dan faktor mentalitas para penegak hukum itu sendiri. Di Bireun, seorang terhukum cambuk mengaku sudah membayar sejumlah uang kepada jaksa agar tidak dihukum cambuk, meski pada akhirnya ia tetap menerima hukuman itu (Acehkita, Juli 2005). Di Lhokseumawe, seorang anggota DPRD yang ketahuan berbuat mesum belum juga diproses meski kasusnya sudah terjadi selama setahun. Ada juga fakta tentang seorang terhukum yang berhasil lolos karena membayar sejumlah uang, atau fakta tentang melempemnya anggota WH jika mendapati pasangan yang berdua-duaan di tempat sepi ternyata adalah seorang aparat keamanan. Yang lebih menghebohkan adalah kasus tertangkapnya seorang anggota Polisi Syariat di Banda Aceh yang berbuat mesum di sebuah WC umum. Sampai saat ini tidak ada kejelasan proses hukum dari institusi Dinas Syariah yang selalu begitu getol menyerukan tegaknya syariat Islam tanpa pandang bulu.

Bukti-bukti di atas menunjukkan diskriminasi dalam pelaksanaan syariat Islam yang tidak menyentuh elit politik lokal di Aceh dan hanya menyentuh kasus-kasus kecil di masyarakat. Banyak yang bertanya apakah hukuman cambuk juga akan ditimpakan kepada pejabat yang terbukti korupsi, sementara terhukum cambuk dalam kasus yang saya saksikan di atas dihukum karena kedapatan berjudi senilai puluhan ribu rupiah. Belum lagi pendapat yang mengemukakan bahwa pelaksanaan hukum syariat Islam bernuansa politis dan rekayasa para elit politik tertentu sekedar untuk mencari simpati dan dukungan massa.

Jika hukum cambuk dianggap sebagai alternatif untuk menghilangkan penyakit-penyakit sosial di masyarakat yang tidak bisa ditangani oleh hukum positif, maka hasilnya adalah nol besar. Persoalannya bukan pada jenis hukuman, melainkan bagaimana hukum itu ditegakkan. Selain itu, penyakit sosial membutuhkan komitmen dari pemerintah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar dan menjadi kebutuhan publik. Pemerintahan bersih bebas KKN, penegakan hukum yang dimulai dari penegak hukum sendiri, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah kunci utama jika ingin meminimalisir kriminalitas dan penyakit masyarakat.

Melihat hukum cambuk secara langsung, saya seperti melihat wajah kita sendiri yang penuh sisi paradoks. Ada wajah-wajah pasrah dan kalah dari para terhukum, wajah-wajah puas para pejabat yang berharap mendapat simpati rakyat karena peduli dengan isu agama atau mungkin puas karena merasa telah berhasil mengalihkan perhatian masyarakat dari tindak korupsi yang dilakukannya, juga wajah-wajah gembira massa setelah menyaksikan sebuah “acara” yang belum pernah dilihat sebelumnya. Meriah dalam simbol, tapi setelah itu sunyi dan kosong. Semua kembali kepada dunianya masing-masing. Dan agama sesungguhnya bukanlah pertunjukan, juga bukan soal menang kalah…



Read more...

“Muslim Semangka" Yang Semakin Langka

19.3.08


Haji Misbach, salah seorang tokoh Sarekat Islam (SI) Surakarta yang kemudian bergabung dengan PKI tahun 1923 dikenal sebagai seorang muslim yang taat sekaligus seorang komunis yang militan. Haji Misbach mengatakan menjadi seorang komunis bukan berarti atheis dan bahkan sebaliknya seorang muslim sejati seharusnya meyakini ajaran-ajaran komunisme. Dia meyakini adanya kesesuaian antara Islam dengan komunisme, seperti pengakuan kesamaan hak manusia dan adanya perintah Allah dalam Al Quran untuk berjuang melawan penindasan. Teman saya menjuluki Haji Misbach sebagai “muslim semangka”, sebagaimana buah semangka yang kulit luarnya berwarna hijau sementara isinya berwarna merah.

Berangkat dari keyakinannya tersebut Haji Misbach kemudian dikenal sebagai tokoh Islam yang begitu peduli pada problem-problem sosial dan gigih menentang kekuatan modal (kapitalisme) yang menindas rakyat kecil yang pada saat itu direpresentasikan oleh perkebunan dan pabrik-pabrik milik swasta dan pemerintah Hindia Belanda. Misbach terjun langsung dalam membela para petani dan buruh untuk menuntut upah yang layak, menentang kerja paksa serta menuntut penghapusan pajak pemerintah Hindia Belanda dan penguasa lokal yang dinilai memberatkan mereka.


Takashi Shiraisi dalam Zaman Bergerak (1990) menuliskan bahwa yang menjadi titik tekan Misbach dalam menjelaskan ciri kapitalisme adalah ketamakan. Cita-cita kaum kapitalis adalah untuk terus menerus mendapat keuntungan tanpa mau rugi sedikitpun. Dalam artikelnya Islam dan Komunisme di surat kabar Medan Muslimin yang terbit 1924 -1925, Misbach juga meyakini kapitalisme yang bersifat menindas telah menyebabkan kemiskinan di masyarakat dan kemiskinan itulah yang menyebabkan tindak kriminalitas seperti penipuan, pencurian, perampokan dan bahkan bisa membuat seorang perempuan menjual kehormatannya dan menjadi -dalam istilah sekarang- seorang pekerja seks komersial.

Selain aktif di organisasi, Haji Misbach juga menerbitkan surat kabar, mendirikan toko buku dan sekolah-sekolah modern, serta terkenal dengan tablig-tablignya yang menentang keras perilaku hidup boros dan bermewah-mewah, tidak terkecuali yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam lainnya. Dalam pergaulan ia dikenal sebagai orang yang sangat ramah dan egaliter karena tidak pernah membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Ia juga lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa ketimbang peci atau serban seperti kebanyakan haji zaman itu.

Sosok ulama lainnya yang sezaman dengan Haji Misbach dan mempunyai gagasan yang sama tentang Islam sebagai agama yang peduli pada kaum mustadhafin (lemah, tertindas) adalah HOS Cokroaminoto. Berbeda dengan Haji Misbach yang terang-terangan menyatakan diri sebagai seorang komunis, Cokroaminoto cenderung menolak marxisme dan berpendapat bahwa pada dasarnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad sudah mengajarkan sosialisme tanpa harus mengadopsi gagasan Karl Marx.

Dalam bukunya Islam dan Sosialisme, Cokroaminoto menyatakan bahwa menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang semestinya menjadi milik orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan adalah perbuatan yang dilarang keras oleh agama Islam karena termasuk perbuatan riba. Dalam hal ini memakan riba dalam Islam memiliki konteks yang sama dengan memakan keuntungan nilai lebih (meerwaarde) dalam pemikiran Karl Marx.

Sejarah mencatat kedua tokoh tersebut tidak hanya sebagai sosok ulama, melainkan juga tokoh pergerakan Islam. Artinya mereka tidak sekedar menegakkan doktrin-doktrin Islam secara kaku dan statis, melainkan menggerakkan Islam dalam arti terus-menerus menerjemahkan dan mengkontekstualisasikan doktrin-doktrin tersebut dengan realitas empiris sehingga mampu menjawab berbagai tantangan dan perubahan sosial yang terus terjadi di masyarakat.

Islam sebagai Agama Pembebasan

Pemikiran Haji Misbach dan HOS Cokroaminoto tentang Islam sebagai agama yang menentang penindasan dan ketidakadilan sesungguhnya bukan penafsiran baru terhadap ajaran Islam. Malah sebenarnya keduanya berusaha menghadirkan cara pandang dan penghayatan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad untuk kemudian mengkontekstualisasikannya dengan kondisi sosial pada zaman mereka.

Pada masa awal pewahyuan Islam, Muhammad menyerukan prinsip egalitarianisme untuk melawan dominasi kaum bangsawan yang memonopoli sistem ekonomi dan jalur perdagangan di Mekkah yang menyebabkan kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial. Dalam konteks inilah Islam menentang kapitalisme, yaitu penumpukan kekayaan dan akumulasi modal yang berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial.

Islam pada dasarnya adalah agama pembebasan bagi kaum lemah dan tertindas sebagaimana jelas disebutkan dalam Al Quran bahwa Allah berkehendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhuafa) di bumi dan menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang mewarisi bumi (QS Al Qashash: 5-6).

Sebaliknya Islam mencita-citakan terwujudnya masyarakat anti kelas yang dalam Al Quran disebut sebagai masyarakat Tauhid atau umat yang satu (QS Al Mukminun:52). Doktrin Tauhid atau keesaan Allah yang menjadi inti ajaran Islam ini selain dipahami sebagai pengakuan atas Allah sebagai Tuhan yang satu, juga merupakan doktrin untuk tidak menyekutukan Allah dengan hal-hal lainnya seperti harta, status, dan kekuasaan. Dalam konteks sosial, masyarakat Tauhid adalah masyarakat anti diskriminasi yang tidak membeda-bedakan status ekonomi, kekuasaan, ras, etnis karena semua manusia sama di mata Allah.

Al Qur'an juga menyatakan bahwa kondisi suatu kaum tergantung kepada perubahan yang dilakukan oleh kaum itu sendiri (QS Al Ra'du ayat 11). Terminologi “kaum” tidak hanya merujuk pada satu kelompok anggota masyarakat, tetapi seluruh anggota masyarakat, baik itu rakyat, pemimpin, pedagang, cendekiawan dan sebagainya. Dalam konteks di mana terdapat suatu struktur ekonomi atau politik yang menindas masyarakat, nasib kaum mustadhafin (tertindas dan miskin) tidak akan berubah jika mereka sendiri tidak berjuang melepaskan diri dari penindasaan yang dilakukan oleh kaum mustakbirin (tiran, penguasa, orang kaya). Sebaliknya juga para pemimpin harus menyadari kewajibannya yaitu memenuhi hak-hak rakyatnya dan orang kaya harus ikut berperan dalam menyelesaikan problem kemiskinan di masyarakat. Dan kondisi itu hanya bisa terwujud akibat proses penyadaran yang salah satunya menjadi tugas dan tanggung jawab sosial ulama.

Sayangnya, saat ini Islam seolah menjadi agama yang gagal dalam mentransformasikan dimensi sosialnya. Banyak ulama atau tokoh Islam yang muncul, tetapi hanya segelintir yang menjadi aktor penggerak kesadaran akan Islam sebagai agama yang menentang segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Semakin sedikit ulama yang konsisten membela hak-hak rakyat dan berada di garis depan perjuangan dalam menyelesaikan problem-problem sosial umatnya dengan resiko “hidup sederhana” atau tidak dikenal karena bekerja “di balik layar” popularitas dan kekuasaan.

Sebaliknya para ulama atau tokoh Islam sibuk mengajarkan kepada umatnya penghayatan Islam yang menekankan aspek ritual, ajakan meningkatkan kesalehan pribadi demi mencapai kebahagiaan spiritual belaka. Sebagian dari mereka menjadikan agama sebagai komoditas yang bisa dijual demi keuntungan pribadi atau hidup bermewah-mewah sementara mayoritas rakyat Indonesia yang juga mayoritas beragama Islam masih hidup dalam jerat kemiskinan dan kebodohan.

Padahal “musuh” yang dihadapi oleh Nabi Muhammad pada awal pewahyuan Islam atau yang dihadapi para tokoh pergerakan Islam seperti Haji Misbach dan HOS Cokroaminoto pada masa kolonial Belanda sesungguhnya sama dengan kondisi yang dihadapi oleh tokoh Islam di Indonesia saat ini; dominasi kekuatan modal tanpa batas yang mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi, rezim yang mengabaikan hak-hak rakyat dan menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi, serta perilaku orang kaya yang menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara memeras tenaga dan hak milik orang lain.

Tantangan ulama dan tokoh Islam di Indonesia saat ini adalah menjadikan doktrin-doktrin kemanusiaan dalam Islam sebagai spirit penggerak dan pembangkit kesadaran untuk menjawab dinamika dan perubahan sosial yang cenderung menciptakan penindasan dan ketidakadilan sosial. Mereka juga harus terjun langsung dalam menyelesaikan berbagai problem sosial yang dialami rakyat kecil seperti kemiskinan, tingginya angka buta huruf, ledakan jumlah pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan, perdagangan anak, diskriminasi terhadap kelompok rentan dan problem sosial lainnya.

Ketimbang sibuk mengurusi isu-isu formal seperti cita-cita mendirikan pemerintahan Islam, tuntutan penerapan syariat, fatwa halal-haramnya makanan minuman atau tenggelam dalam kenikmatan popularitas dunia dakwah dan hiburan, sudah saatnya berbagai problem-problem sosial yang real dialami rakyat kecil menjadi pemicu kesadaran tokoh-tokoh Islam untuk melakukan kerja-kerja praksis bersama. Jika kesadaran itu tidak terwujud, maka “muslim semangka” akan menjadi sosok yang semakin langka dan cita-cita Islam sebagai agama pembebasan hanya tinggal utopia belaka.

Read more...

Perkenalkan : Kiai Selebriti…

23.2.08

Beberapa waktu yang lalu, bertepatan dengan peringatan tahun baru Islam, seorang dai muda yang sedang ngetop tampil menjadi bintang tamu dalam sebuah acara infotainment -lebih tepatnya acara gosip selebriti- di salah satu stasiun televisi swasta. Sang dai muda berbincang-bincang dengan dua orang artis pembawa acara yang memakai busana seadanya, menerangkan makna hari besar Islam sambil sesekali menyitir ayat suci. Ironisnya, sang dai hanya muncul sekilas, lalu setelah itu dua artis tadi pun kembali bergosip seputar perselingkuhan, kawin cerai dan hal-hal remeh lainnya.

Ada rasa prihatin yang muncul saat melihat acara itu. Keprihatinan yang bermuara pada semakin seringnya agama dijadikan sebagai pemanis hal-hal yang profan dan cenderung dikomersialisasikan. Jika bukan melalui pertarungan simbol-simbol dalam perebutan kekuasaan, agama diubah menjadi “primadona baru” dalam hingar bingar industri hiburan.

Saya menyebut sang dai muda tersebut sebagai kiai selebriti. Ada dua alasan mengapa saya memakai istilah tersebut. Pertama, mereka adalah kiai yang muncul di tengah kemajuan teknologi informasi dan dengan cepat menjadi idola dan figur (panutan?) baru di masyarakat. Mereka yang semula hanya dikenal dan berpengaruh di lingkungan sekitarnya, tiba-tiba menjadi sedemikian terkenal ke luar komunitas dan masyarakatnya karena memanfaatkan (atau dimanfaaatkan oleh) teknologi informasi.

Kedua, istilah kiai selebriti ditujukan kepada mereka yang hanya mengambil spesialisasi berdakwah di kalangan selebriti, baik artis atau pesohor lainnya. Mereka kemudian berperilaku dan bergaya hidup sebagaimana selebriti dengan alasan mempromosikan agama dan mengangkat citra agama itu sendiri. Pada tahun 1990-an, kita pernah mengenal istilah kiai BMW, kiai Pajero dan julukan lain yang mengasosiasikan bahwa kiai kini tidak lagi identik dengan sarung dan kopiah lusuh.

Fenomena kiai selebriti mulai muncul ketika industri hiburan –terutama di televisi- mulai melakukan ekspansi ke dalam ranah agama. Lalu agama pun lebur menjadi sebuah komoditi, “dijual” dalam acara-acara ceramah yang menonjolkan tangis dan ajakan untuk pencapaian keuntungan spiritual pribadi. Momen-momen keagamaan seperti Ramadhan, Lebaran dan Natal yang sakral pun diubah menjadi hiburan atau momen untuk menjual produk tertentu. Belum lagi maraknya tayangan sinetron mistik dengan kemasan agama demi keuntungan rating dan iklan belaka.

Jauh sebelum kiai selebriti muncul, ada juga jenis kiai birokrat. Munculnya kiai jenis ini sudah setua usia agama itu sendiri. Dengan otoritas keagamaan dan pengaruhnya, mereka berselingkuh dengan penguasa kepentingan pribadi, meringkuk dengan nyaman dalam jaring-jaring kekuasaan. Kiai jenis ini hanya menjadi corong pembenar kebijakan penguasa, lebih sibuk mengawasi sah tidaknya ibadah seseorang tetapi gagal berperan dalam problem-problem yang menyangkut kemaslahatan umat seperti penyelewengan kekuasaan dan kemiskinan.

Tentu tidak ada yang salah ketika ada kiai tampil di televisi dengan dandanan necis dan gaul atau ketika ada kiai yang hobi keluar masuk istana dengan memakai jas berlogo partai. Kesalahan terbesar dari para kiai adalah dengan ilmu yang mereka miliki hanya mengurusi ruang privat agama dan melupakan dimensi sosialnya. Mereka menganggap tugas mereka selesai setelah mengajarkan tata cara wudlu, syarat sahnya sholat atau bagaimana cara mendapat pahala ibadah sebanyak-banyaknya tetapi mengabaikan nasib umat mereka yang dihimpit kesulitan hidup.

Nabi dan kitab suci mengajarkan bahwa misi utama agama adalah sebagai spirit yang menggerakkan kesadaran dan tindakan umatnya untuk mewujudkan nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti solidaritas, kesetaraan, anti diskriminasi dan keadilan sosial. Orang-orang yang dipercaya Tuhan untuk menyampaikan ajaran-ajaran-Nya adalah mereka yang sangat mengagungkan nilai-nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Nabi Muhammad adalah nabi yang peduli pada kaum lemah (mustadhafin). Spirit perjuangannya berasal dari refleksi atas kondisi masyarakat Arab yang saat itu lebih mengutamakan harta dan kekuasaan tetapi mengabaikan prinsip solidaritas dan kesetaraan. Isa dikenal karena cinta kasihnya kepada orang yang lemah dan tertindas dan Sidharta Gautama berkelana dalam perjalanan spiritualnya karena tidak tahan hidup mewah di istana sementara rakyatnya sendiri banyak yang menderita.

Setelah para nabi dan orang suci tidak ada, tugas dan peran mereka diwariskan kepada orang-orang yang mempunyai kemampuan intelektual dan spiritual yang istimewa di banding kaum awam, dalam hal ini adalah kiai, pendeta, romo, biksu, dan sebagainya. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad menegaskan bahwa ulama adalah “pewaris nabi”, yang berarti tugas dan peran Nabi sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat sudah seharusnya melekat pada diri seorang ulama.

Jadi jika tugas kenabian yang dijadikan patokan, seorang ulama atau kiai tidak hanya bertanggungjawab untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi sekaligus harus berperan aktif dalam mengatasi problem-problem sosial yang dihadapi oleh umat seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas dan korupsi. Kerja-kerja kemanusiaan tersebut pada hakekatnya adalah untuk mengangkat derajat manusia dari lembah kehinaan menuju derajat kemuliaan. Kemuliaan disini bukan hanya dalam konteks spiritual yang bisa dicapai melalui ritual ibadah seperti sholat, zakat dan puasa, tetapi juga juga dalam konteks sosial di mana seseorang bisa hidup layak sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia.

Dan kita tahu, di negeri ini yang sebagian besar penduduknya hidup dalam kantong kemiskinan ini adalah negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Artinya, ada kegagalan dari pihak pemimpin agama untuk menyelesaikan problem sosial yang dihadapi oleh umatnya sendiri. Mereka yang menyandang predikat kiai, ulama atau dai gagal mentransformasikan misi kemanusiaan agama dalam tugas dakwah mereka, dan justru sebaliknya menutup mata dan hati mereka terhadap berbagai problem sosial tersebut.

Nyatanya, saat rakyat kecil menjerit karena kesulitan hidup, para pemimpin umat tersebut terang-terangan mengambil keuntungan dari status “kiai” mereka. Saat negara sudah hampir ambruk karena ulah para penguasa yang menyeleweng, mereka malah ikut berebut menikmati kue kekuasaan. Ada yang pintar memodifikasi agama menjadi seremoni di istana. Ada yang mempromosikan agama menjadi (sekedar) ilmu pengusir setan di televisi-televisi. Ada juga yang lihai menguras air mata umatnya dalam pelatihan-pelatihan spiritual di hotel-hotel berbintang, atau menikmati popularitas mereka sebagai seorang selebriti seperti sang dai muda dalam ilustrasi di awal tulisan ini.

Padahal di kampung-kampung kumuh di kota-kota besar atau di daerah-daerah terbelakang yang tak terjangkau pembangunan, jutaan orang-orang kecil dan lemah susah payah untuk sekedar hidup layak. Baru-baru ini, seorang penjual gorengan mati bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban ekonomi yang semakin tinggi. Kita juga masih ingat kasus Supriyono, seorang pemulung di Jakarta berpenghasilan 10.000 per hari yang harus membawa jenazah anak perempuannya dengan gerobak karena tidak mampu membayar sewa mobil jenazah, setelah sebelumnya juga tidak mampu membiayai pengobatan sakit muntaber anaknya tersebut sampai akhirnya meninggal. Inilah yang menurut seorang intelektual muda NU Zuhairi Misrawi, sebuah situasi di mana kaum agamawan gagal membangun etika sosial, yaitu etika yang memberi perhatian kepada mereka yang lemah dan dilemahkan sebagai akibat dari terlalu seringnya agama membincangkan soal etika privat (Zuhairi Misrawi, Kompas/25/6/2005).

Tentu tidak semua kiai “berkhianat” kepada tugasnya sendiri. Masih ada kiai yang konsisten membela hak-hak rakyat dan memegang teguh keyakinan bahwa misi suci agama adalah untuk membela kaum lemah dan meninggikan martabat manusia. Kiai seperti ini mengambil jarak dengan kekuasaan karena takut kekuasaan akan memanfaatkan mereka atau sebaliknya mereka tidak ingin memanfaatkan kekuasaan demi keuntungan pribadinya. Mereka lebih percaya bahwa perubahan sosial akan tercapai dengan pendekatan kultural melalui pendidikan alternatif, penguatan ekonomi kerakyatan serta pemberdayaan masyarakat kecil dan lemah. Mereka hidup khusyu di tengah-tengah orang-orang yang menderita dan terpinggirkan, menjadi sosok berteduh terakhir bagi orang-orang yang sudah terlalu lelah didera kemelaratan dan kepahitan hidup.

Akhir cerita, kita tidak ada yang tahu siapa saja kiai yang menggunakan pengaruhnya untuk melegitimasi suatu kekuasaan atau kiai yang hanya bergaul dan berdakwah di tengah-tengah gelamornya popularitas, serta berapa banyak kiai yang hidup bersama-sama di gubuk-gubuk kumuh, melayani orang yang miskin, jauh dari hingar bingar popularitas dan kekuasaan. Yang kita tahu adalah kenyataan hanya segelintir orang yang hidup mewah dan korup ditengah semakin membengkaknya jumlah orang miskin kesulitan membeli tempe dan antri minyak tanah, anak-anak yang menderita gizi buruk dan putus sekolah, mereka-mereka yang menderita karena dilemahkan dan dikalahkan oleh kekuasaan.



Read more...

Maling di Rumahku dan Potret Kecil Indonesia…

12.2.08

Hari ini saya menelpon Ibu yang tinggal sendirian di kampung saya di Boyolali. Ibu bercerita kalau beberapa hari kemarin saat beliau sedang pergi ke rumah kakak saya di Yogya, rumah kami kemasukan maling. Tidak ada barang berharga di rumah kami, selain koleksi buku dan sebuah televisi tua yang pada saat kejadian kebetulan dititipkan di rumah tetangga. Maling yang tidak beruntung itu membawa lari sebuah dandang (tempat memasak nasi/air) dan sebuah panci kecil di dapur.

Ibu melaporkan peristiwa tersebut ke kepala desa karena kemalingan di rumah kami sudah terjadi beberapa kali. Sebelumnya, maling berhasil menjebol atap dan mengambil beras persediaan sehari-hari. Nasib serupa juga dialami beberapa tetangga yang kehilangan televisi dan benda berharga lainnya.

Namun ternyata tindakan Ibu sebagai warga yang ingin mendapat keadilan dari pemimpinnya itu tidak mendapat jawaban atau pelayanan semestinya. Pak Lurah malah berkata,” Lha apa saya harus mengganti dandang dan pancinya?! Apa saya harus mengawasi rumah panjenengan (anda) setiap malam?! Panjenengan itu sendiri yang harus waspada agar tidak ada maling masuk..”

Mendengar jawaban pak Lurah yang tidak semestinya itu ibu saya –yang “hanya” tamatan SD tetapi sampai saat ini masih tercatat sebagai ketua Muslimat (organisasi wanita NU tingkat kecamatan) dan aktif di beberapa organisasi masyarakat di kampung- balik berkata,” Saya itu tidak minta dandang saya di kembalikan. Saya hanya minta kamu sebagai pemimpin bertanggung jawab atas keamanan wargamu”.
Mendengar cerita ibu saya soal maling itu saya merenung. Kehilangan dandang dan panci tentu saja adalah perkara kecil. Tetapi masalah yang lebih besar bagi saya adalah tanggapan pak Lurah terhadap laporan Ibu saya yang mencerminkan model pemimpin yang tidak mau peduli terhadap persoalan yang dihadapi warganya. Pemimpin yang gagal memenuhi tanggungjawabnya, dalam hal ini tanggungjawab untuk menjamin rasa aman pada diri seluruh warganya.

Ironisnya, rumah pak Lurah terletak di belakang rumah saya. Artinya pak Lurah tersebut gagal total dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang pemimpin karena tidak peduli pada potensi gangguan keamanan terhadap warganya, bahkan ketika hal itu terjadi di depan matanya sendiri.

Sekedar cerita, pak Lurah di kampung saya tergolong masih muda. Sebelum jadi lurah ia bukan tipe orang yang suka bersosialisasi di masyarakat. Ia jarang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di kampung. Warga lebih mengenalnya sebagai seorang paranormal yang laris dan hampir tidak pernah keluar rumah. Setiap hari rumahnya selalu dikunjungi banyak orang yang ingin mencari peruntungan, mulai dari yang bermobil mewah sampai yang datang naik ojek. Lalu ketika waktu pemilihan kepala desa, ia sibuk meminta dukungan, berkeliling ke rumah-rumah warganya. Konon ia menghabiskan duit ratusan juta rupiah dalam pilkades, dan akhirnya hanya menang tipis dari lurah lama yang terbilang cukup sukses dan dicintai warga selama masa kepemimpinannya.

Belakangan, warga mulai menyangsikan kemampuan pak Lurah ini untuk memimpin desa kami. Selain soal keamanan desa yang mulai terusik, warga juga mempermasalahkan kesibukannya sebagai seorang paranormal mengalahkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala desa. Di desa kami ada guyonan bahwa balai desa saat ini bukan lagi tempat untuk melayani masyarakat dan menjalankan roda pemerintahan desa, tetapi sudah menjadi tempat praktek perdukunan.
Pak Lurah ini juga bahkan sering membuat blunder yang merusak citra dan kepercayaan warga. Ada satu kejadian yang kebetulan saya saksikan sendiri. Ceritanya, pasca pilkades bulan Februari 2007, desa kami terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu mantan Lurah dan kubu Lurah baru. Sampai saat ini ini pak Lurah tidak bisa meredam konflik tersebut dan justru dia sendirilah yang membuat suasana semakin panas. Nah, saat saya sedang liburan di kampung, saya mengikuti acara selamatan di rumah tetangga. Kebetulan dalam acara tersebut hadir para sesepuh dan tetua desa yang berseberangan dengannya. Pada saat itu pak Lurah meminta warga untuk bersatu kembali dan tidak mempeributkan siapa yang menang dalam pilkades.

“Jadi saya selaku kepala desa meminta warga untuk bersatu kembali. Tidak usah ada kubu-kubuan. Terutama pesan saya ini saya tujukan kepada para sesepuh, mohon ikut menjaga situasi agar rukun dan damai. Setuju tidak mbah Pur?” Tanya pak Lurah meminta konfirmasi dari mbah Pur, salah seorang tokoh desa kami yang bersebarangan dengannya. Blunder terjadi ketika tokoh yang ditanya tidak menjawab karena memang sedang ada perang dingin diantara keduanya.

Pak Lurah pun naik pitam dan berkata,”Semoga panjenengan tidak mendengar selamanya”. Sontak seluruh warga yang hadir pun kaget dan berguman mendengarkan reaksi pak Lurah yang sama sekali tidak bijaksana itu.

Begitulah jika seorang pemimpin berasal dari produk karbitan. Pemimpin yang tidak tahu bagaimana cara memetakan dan mengurai problem sosial kemasyarakatan yang dihadapi warganya. Pemimpin yang ingin dipandang dari jabatannya, namun ia sendiri tidak bisa menunjukkan rasa hormat dan penghargaannya kepada rakyatnya sendiri. Alih-alih menjadi tokoh pemersatu, ia bahkan menjadi sumber konflik itu sendiri. Pemimpin yang tidak bisa memberikan solusi, suka melemparkan kesalahan kepada orang lain karena memang sama sekali tidak tahu apa yang harus dia kerjakan.

Apa yang terjadi di kampung saya adalah potret kecil dari situasi yang terjadi di negeri ini. Pemimpin kita saat ini adalah adalah mereka yang datang dan dengan segala cara merayu warga pada saat kampanye, tetapi bersembunyi atau memalingkan muka saat rakyat membutuhkan. Jangankan menyediakan waktu untuk melihat atau mendengar keluh kesah rakyat, memikirkan nasib rakyatnya pun sama sekali tidak. Pemimpin yang hati nuraninya dikalahkan oleh ego dan syahwat kekuasaan, tetapi sama sekali tidak punya visi dan tanggung jawab moral terhadap kekuasaan yang ia pegang.

Dari cerita Ibu tentang maling dandang dan panci, dari kampung kecil di pelosok Boyolali, saya jadi sadar bahwa negeri ini betul-betul butuh pemimpin yang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar warganya, tetapi juga sekaligus menjadi sosok yang mengayomi, melindungi dan memberikan rasa aman bagi rakyatnya.

Read more...

Kisah keluarga mas Suhadak

10.1.08


Lebaran kemarin, saya diajak istri ke rumah saudaranya, tepatnya pakdhe dari pihak bapak mertua. Rumah pakdhe terletak lebih kurang 2 kilometer dari rumah istri saya. Dari jalan besar yang menghubungkan Kecamatan Kuwu di Grobogan dengan Cepu di kabupaten Blora, kami masuk ke jalan kampung berdebu dan melewati tegalan yang kering kerontang. Grobogan waktu kemarau adalah sebuah bencana, sekaligus menyajikan pemandangan yang eksotis. Sejauh mata memandang adalah tanah-tanah hitam merengkah, kontras dengan daun jagung dan rerumputan berwarna coklat muda.

Kami terus menyusuri jalanan desa berbatu. Setelah itu masuk ke jalan setapak di tepian sawah kering dan ladang jagung yang menghampar. Saya jadi teringat suasana di film-film Jeeper Creper, Freddy and Jason atau film-film tentang hantu ladang jagung di film-film Holywood. Setelah beberapa menit perjalanan, tibalah kami di depan sebuah rumah. Ada tiga buah rumah yang berderetan dengan kondisi yang hampir sama. Rumah, mungkin tepatnya gubuk dengan ukuran lebih luas. Semuanya berdinding campuran anyaman bambu dan papan yang sudah kusam dan kering. Sudah reot di sana-sini, bahkan beberapa tiang sudah miring. Di emperan, ada tumpukan jerami. Bau kotoran sapi menyengat, khas desa.

Istri saya mengajak masuk ke rumah yang terletak paling ujung. Begitu kaki melangkah melewat garis pintu, tampak sebuah pemandangan yang membuat saya tertegun dan ragu. Tidak ada kamar di rumah itu. Suasanya terasa gelap karena tidak ada jendela, hanya sebaris kecil cahaya masuk dari genteng kaca. Tidak ada televisi yang kini menjadi kebutuhan wajib di rumah tangga di Indonesia, kulkas atau perabotan rumah tangga lainnya. Di pojok depan dekat pintu, seekor sapi dengan tenangnya mengunyah tumpukan rumput di yang tersebar begitu saja di lantai yang terbuat dari tanah. Di tengah ruangan, seorang lelaki berusia 40 tahunan, seorang perempuan, dan 3 anak remaja tanggung duduk di kursi panjang, mengelilingi sebuah meja kayu. Jika lebaran identik dengan kue nastar dan kue-kue kaleng, di meja tersebut tersaji makanan kecil khas desa; maring jagung dan keripik pisang di toples kaca yang sudah kusam. Di pojok yang lain, seorang lelaki tua melinting rokok klobot, di temani seorang perempuan tua duduk di amben. Sementara di ujung, sebuah tempat tidur dengan kelambu kumal, duduk seorang perempuan muda menggendong bayi. Sekitar tiga orang anak kecil, seorang bayi baru belajar berjalan..total jenderal ada 10 jiwa di dalam rumah itu.

Saya dikenalkan oleh istri pada keluarga tersebut. Meski sudah hampir 2 tahun menikah, bekerja di luar Jawa membuat saya tidak banyak mengenal seluruh keluarga istri saya. Lelaki tua yang melinting rokok klobot itu pakdhenya, lalu istri dan anak-anak serta cucu-cucunya. Saya hanya mengenal salah satu anak pakdhe, seorang lelaki periang dan pekerja keras. Namanya mas Suhadak. Dialah yang sering membantu keluarga istri saya untuk urusan membetulkan atap bocor, memetik kelapa, dan “pekerjaan kotor” lainnya. Kami lalu mengobrol sambil menikmati marning jagung. Beberapa ekor ayam lewat di sela-sela kaki. Bahkan salah seorang anak kecil tadi dengan santainya jongkok dan pipis di lantai yang terbuat dari tanah....

Saya memang bukan berasal dari kota atau keluarga kaya. Tapi bertemu dengan keluarga dengan kondisi seperti itu membuatku menjadi trenyuh sekaligus takjub. Saat ini, televisi bukan lagi barang mahal, motor bisa dikredit dengan mudah, dan kulkas sudah menjadi ukuran kesejahteraan. Bahkan mempercantik rumah bukan lagi kebutuhan, malah menjadi semacam perlombaan dan adu gengsi. Dan sekian ukuran kesejahteraan versi umum itu tidak satupun kutemui di keluarga itu. Meski demikian, ada sesuatu yang samar-samar masuk ke dalam dapur kesimpulan di otak saya; energi kebahagiaan keluarga tersebut. Energi kebahagiaan yang saya tangkap dari binar mata dan ketulusan mereka saat menerima saya.

"Terus terang aku kaget dengan kondisi keluarga Pakdhe. Kok bisa mereka hidup seperti itu itu,” kataku kepada istri dalam perjalanan pulang. Dalam hati, saya mencoba mencari pembenaran dari kesan samar yang memenuhi pikiran saya.
"Maksudmu kondisi ekonomi mereka. Jangan salah sangka dan terburu-buru mengambil kesimpulan hanya dari sekilas yang kau lihat. Mereka memilih jalan hidup seperti itu. Kalau orang lain panen jagung hasilnya untuk memperbagus rumah, membeli sepeda motor atau televisi. Tetapi mereka tidak, meski mereka bisa melakukannya. Kau tahu, mereka membikin rumah berdekatan agar bisa dekat satu sama lain. Mereka rukun-rukun, tidak pernah menyusahkan orang lain dan lebih dihormati oleh saudara-saudara yang lain justru karena kesederhanaan dan kebersamaan keluarga itu.”

Saya hanya diam, dan kesan samar dalam pikiran saya berubah menjadi pendar kekaguman. Memang, ada energi kebahagiaan yang luar biasa dari keluarga itu. Kebahagiaan yang muncul dari kesederhanaan dalam menjalani hidup dan kehangatan dalam keluarga. Mereka seperti tidak silau pada ukuran-ukuran kebahagiaan berdasar seberapa layak rumah mereka, seberapa banyak harta atau perabotan yang mereka miliki dan semacamnya. Kebahagiaan bagi mereka adalah bekerja keras menyemai jagung di siang hari, mencari jerami dan rumput untuk makanan sapi, memanjakan diri dengan mendengarkan ketoprak dari radio sambil mengawasi kambing yang merumput, dan jika malam menjelang bercengkerama dengan keluarga sambil menikmati rokok klobot dan marning jagung.

Dan mungkin kebahagiaan seperti itulah yang dialami oleh jutaan keluarga yang hidup di pelosok desa-desa di negeri ini. Keluarga-keluarga yang hidup sederhana atau bahkan mungkin kekurangan secara ekonomi, menjalani hari-hari dengan kerja keras tetapi tidak menganggap bahwa segalanya harus dimiliki. Keluarga-keluarga yang masih memelihara rasa guyub dan kebersamaan dalam obrolan-obrolan malam di teras rumah tentang rencana besok pagi tanpa kehadiran televisi yang gencar menawarkan aneka macam barang. Dan kesederhanaan itu pula yang membuat mereka mampu mensyukuri setiap rezeki dan nikmat Tuhan yang tidak selalu berupa harta, tetapi juga tubuh yang sehat, anak-anak yang lincah, tunas-tunas tanaman yang tumbuh perlahan, ternak yang gemuk, dan lebih dari itu adalah hidup yang tenteram.

Ukuran kebahagiaan memang berbeda bagi setiap orang. Tetapi yang membuat makna kebahagiaan lebih berarti adalah proses mencapai kebahagiaan itu sendiri. Bagi keluarga mas Suhadak dan jutaan keluarga lainnya, setiap detik adalah rutinitas yang berjalan pelan dan penuh makna, baik saat bekerja atau beristirahat. Sebuah proses yang menjadikan batin mereka kaya dan penuh rasa syukur. Sementara di tempat lain, waktu terlalu pergi terburu-buru, orang-orang menghabiskannya untuk menumpuk harta lalu menghamburkannya demi kesenangan badaniah; makan minum enak di tempat berkelas, baju mahal, aksesoris impor, mobil yang selalu berganti merek, tempat tinggal mewah dan segala kesenangan yang hanya bisa didapat dengan cara cepat dan instan, mengorbankan segenap potensi kreatifnya sebagai manusia. Seperti laron yang sibuk mengerubuti cahaya dan tanpa sadar membuat tubuh mereka sendiri mati terbakar....

Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP