Diberdayakan oleh Blogger.

“Muslim Semangka" Yang Semakin Langka

19.3.08


Haji Misbach, salah seorang tokoh Sarekat Islam (SI) Surakarta yang kemudian bergabung dengan PKI tahun 1923 dikenal sebagai seorang muslim yang taat sekaligus seorang komunis yang militan. Haji Misbach mengatakan menjadi seorang komunis bukan berarti atheis dan bahkan sebaliknya seorang muslim sejati seharusnya meyakini ajaran-ajaran komunisme. Dia meyakini adanya kesesuaian antara Islam dengan komunisme, seperti pengakuan kesamaan hak manusia dan adanya perintah Allah dalam Al Quran untuk berjuang melawan penindasan. Teman saya menjuluki Haji Misbach sebagai “muslim semangka”, sebagaimana buah semangka yang kulit luarnya berwarna hijau sementara isinya berwarna merah.

Berangkat dari keyakinannya tersebut Haji Misbach kemudian dikenal sebagai tokoh Islam yang begitu peduli pada problem-problem sosial dan gigih menentang kekuatan modal (kapitalisme) yang menindas rakyat kecil yang pada saat itu direpresentasikan oleh perkebunan dan pabrik-pabrik milik swasta dan pemerintah Hindia Belanda. Misbach terjun langsung dalam membela para petani dan buruh untuk menuntut upah yang layak, menentang kerja paksa serta menuntut penghapusan pajak pemerintah Hindia Belanda dan penguasa lokal yang dinilai memberatkan mereka.


Takashi Shiraisi dalam Zaman Bergerak (1990) menuliskan bahwa yang menjadi titik tekan Misbach dalam menjelaskan ciri kapitalisme adalah ketamakan. Cita-cita kaum kapitalis adalah untuk terus menerus mendapat keuntungan tanpa mau rugi sedikitpun. Dalam artikelnya Islam dan Komunisme di surat kabar Medan Muslimin yang terbit 1924 -1925, Misbach juga meyakini kapitalisme yang bersifat menindas telah menyebabkan kemiskinan di masyarakat dan kemiskinan itulah yang menyebabkan tindak kriminalitas seperti penipuan, pencurian, perampokan dan bahkan bisa membuat seorang perempuan menjual kehormatannya dan menjadi -dalam istilah sekarang- seorang pekerja seks komersial.

Selain aktif di organisasi, Haji Misbach juga menerbitkan surat kabar, mendirikan toko buku dan sekolah-sekolah modern, serta terkenal dengan tablig-tablignya yang menentang keras perilaku hidup boros dan bermewah-mewah, tidak terkecuali yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam lainnya. Dalam pergaulan ia dikenal sebagai orang yang sangat ramah dan egaliter karena tidak pernah membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Ia juga lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa ketimbang peci atau serban seperti kebanyakan haji zaman itu.

Sosok ulama lainnya yang sezaman dengan Haji Misbach dan mempunyai gagasan yang sama tentang Islam sebagai agama yang peduli pada kaum mustadhafin (lemah, tertindas) adalah HOS Cokroaminoto. Berbeda dengan Haji Misbach yang terang-terangan menyatakan diri sebagai seorang komunis, Cokroaminoto cenderung menolak marxisme dan berpendapat bahwa pada dasarnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad sudah mengajarkan sosialisme tanpa harus mengadopsi gagasan Karl Marx.

Dalam bukunya Islam dan Sosialisme, Cokroaminoto menyatakan bahwa menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang semestinya menjadi milik orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan adalah perbuatan yang dilarang keras oleh agama Islam karena termasuk perbuatan riba. Dalam hal ini memakan riba dalam Islam memiliki konteks yang sama dengan memakan keuntungan nilai lebih (meerwaarde) dalam pemikiran Karl Marx.

Sejarah mencatat kedua tokoh tersebut tidak hanya sebagai sosok ulama, melainkan juga tokoh pergerakan Islam. Artinya mereka tidak sekedar menegakkan doktrin-doktrin Islam secara kaku dan statis, melainkan menggerakkan Islam dalam arti terus-menerus menerjemahkan dan mengkontekstualisasikan doktrin-doktrin tersebut dengan realitas empiris sehingga mampu menjawab berbagai tantangan dan perubahan sosial yang terus terjadi di masyarakat.

Islam sebagai Agama Pembebasan

Pemikiran Haji Misbach dan HOS Cokroaminoto tentang Islam sebagai agama yang menentang penindasan dan ketidakadilan sesungguhnya bukan penafsiran baru terhadap ajaran Islam. Malah sebenarnya keduanya berusaha menghadirkan cara pandang dan penghayatan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad untuk kemudian mengkontekstualisasikannya dengan kondisi sosial pada zaman mereka.

Pada masa awal pewahyuan Islam, Muhammad menyerukan prinsip egalitarianisme untuk melawan dominasi kaum bangsawan yang memonopoli sistem ekonomi dan jalur perdagangan di Mekkah yang menyebabkan kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial. Dalam konteks inilah Islam menentang kapitalisme, yaitu penumpukan kekayaan dan akumulasi modal yang berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial.

Islam pada dasarnya adalah agama pembebasan bagi kaum lemah dan tertindas sebagaimana jelas disebutkan dalam Al Quran bahwa Allah berkehendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhuafa) di bumi dan menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang mewarisi bumi (QS Al Qashash: 5-6).

Sebaliknya Islam mencita-citakan terwujudnya masyarakat anti kelas yang dalam Al Quran disebut sebagai masyarakat Tauhid atau umat yang satu (QS Al Mukminun:52). Doktrin Tauhid atau keesaan Allah yang menjadi inti ajaran Islam ini selain dipahami sebagai pengakuan atas Allah sebagai Tuhan yang satu, juga merupakan doktrin untuk tidak menyekutukan Allah dengan hal-hal lainnya seperti harta, status, dan kekuasaan. Dalam konteks sosial, masyarakat Tauhid adalah masyarakat anti diskriminasi yang tidak membeda-bedakan status ekonomi, kekuasaan, ras, etnis karena semua manusia sama di mata Allah.

Al Qur'an juga menyatakan bahwa kondisi suatu kaum tergantung kepada perubahan yang dilakukan oleh kaum itu sendiri (QS Al Ra'du ayat 11). Terminologi “kaum” tidak hanya merujuk pada satu kelompok anggota masyarakat, tetapi seluruh anggota masyarakat, baik itu rakyat, pemimpin, pedagang, cendekiawan dan sebagainya. Dalam konteks di mana terdapat suatu struktur ekonomi atau politik yang menindas masyarakat, nasib kaum mustadhafin (tertindas dan miskin) tidak akan berubah jika mereka sendiri tidak berjuang melepaskan diri dari penindasaan yang dilakukan oleh kaum mustakbirin (tiran, penguasa, orang kaya). Sebaliknya juga para pemimpin harus menyadari kewajibannya yaitu memenuhi hak-hak rakyatnya dan orang kaya harus ikut berperan dalam menyelesaikan problem kemiskinan di masyarakat. Dan kondisi itu hanya bisa terwujud akibat proses penyadaran yang salah satunya menjadi tugas dan tanggung jawab sosial ulama.

Sayangnya, saat ini Islam seolah menjadi agama yang gagal dalam mentransformasikan dimensi sosialnya. Banyak ulama atau tokoh Islam yang muncul, tetapi hanya segelintir yang menjadi aktor penggerak kesadaran akan Islam sebagai agama yang menentang segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Semakin sedikit ulama yang konsisten membela hak-hak rakyat dan berada di garis depan perjuangan dalam menyelesaikan problem-problem sosial umatnya dengan resiko “hidup sederhana” atau tidak dikenal karena bekerja “di balik layar” popularitas dan kekuasaan.

Sebaliknya para ulama atau tokoh Islam sibuk mengajarkan kepada umatnya penghayatan Islam yang menekankan aspek ritual, ajakan meningkatkan kesalehan pribadi demi mencapai kebahagiaan spiritual belaka. Sebagian dari mereka menjadikan agama sebagai komoditas yang bisa dijual demi keuntungan pribadi atau hidup bermewah-mewah sementara mayoritas rakyat Indonesia yang juga mayoritas beragama Islam masih hidup dalam jerat kemiskinan dan kebodohan.

Padahal “musuh” yang dihadapi oleh Nabi Muhammad pada awal pewahyuan Islam atau yang dihadapi para tokoh pergerakan Islam seperti Haji Misbach dan HOS Cokroaminoto pada masa kolonial Belanda sesungguhnya sama dengan kondisi yang dihadapi oleh tokoh Islam di Indonesia saat ini; dominasi kekuatan modal tanpa batas yang mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi, rezim yang mengabaikan hak-hak rakyat dan menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi, serta perilaku orang kaya yang menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara memeras tenaga dan hak milik orang lain.

Tantangan ulama dan tokoh Islam di Indonesia saat ini adalah menjadikan doktrin-doktrin kemanusiaan dalam Islam sebagai spirit penggerak dan pembangkit kesadaran untuk menjawab dinamika dan perubahan sosial yang cenderung menciptakan penindasan dan ketidakadilan sosial. Mereka juga harus terjun langsung dalam menyelesaikan berbagai problem sosial yang dialami rakyat kecil seperti kemiskinan, tingginya angka buta huruf, ledakan jumlah pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan, perdagangan anak, diskriminasi terhadap kelompok rentan dan problem sosial lainnya.

Ketimbang sibuk mengurusi isu-isu formal seperti cita-cita mendirikan pemerintahan Islam, tuntutan penerapan syariat, fatwa halal-haramnya makanan minuman atau tenggelam dalam kenikmatan popularitas dunia dakwah dan hiburan, sudah saatnya berbagai problem-problem sosial yang real dialami rakyat kecil menjadi pemicu kesadaran tokoh-tokoh Islam untuk melakukan kerja-kerja praksis bersama. Jika kesadaran itu tidak terwujud, maka “muslim semangka” akan menjadi sosok yang semakin langka dan cita-cita Islam sebagai agama pembebasan hanya tinggal utopia belaka.

Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP