Diberdayakan oleh Blogger.

Maaf, aku tidak ikut mudik tahun ini…

29.9.08

/* hilangkan navbar ----------------------------- */ #navbar-iframe { height:0px; visibility:hidden; display:none }


Hajatan besar itu telah dimulai sejak hari-hari terakhir di bulan Ramadhan. Ribuan orang berdesak-desakan dengan wajah-wajah penuh ekspresi, kardus-kardus yang menumpuk dan tas yang menggembung penuh barang menjadi pemandangan di terminal, bandara dan pelabuhan di berbagai pelosok negeri. Di layar kaca, hampir setiap menit para pembaca berita menyiarkan “acara rutin“ yang menjadi ciri khas dari hajatan ini, mulai dari antrian untuk mendapatkan tiket, kemacetan di jalan raya, kecelakaan, maupun aksi para pelaku kriminal dengan berbagai modus.

Barangkali hanya pada saat seperti inilah bangsa ini benar-benar bisa bersatu dalam arti yang sesungguhnya. Para petugas perhubungan, reporter berita televisi, pemilik bengkel kendaraan, polisi, pedagang asongan, pengusaha jasa angkutan dan tentu saja pemudik itu sendiri berbaur dan berinteraksi dalam sebuah jalinan rumit yang membentuk sebuah ritual akbar massal bernama mudik.


Siapapun boleh mengikuti ritual ini tanpa kecuali. Tidak terlalu tepat jika ada yang mengatakan mudik hanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai salah satu ekses dari urbanisasi dan ketimpangan pembangunan yang terfokus di kota besar. Kenyatannya, para pembesar negeri, para wakil rakyat, profesional muda dan orang-orang kaya juga ikut menjadi “peserta” dalam ritual ini. Jika ada yang membedakan, barangkali hanya jenis dan kualitas moda transportasi yang mereka gunakan. Lebih dari itu, semua punya hak dan keinginan yang sama, yakni kembali ke kampung halaman dan berlebaran bersama keluarga

Khusus untuk tahun ini, pemudik seperti komoditas berharga. Mereka diburu dan diperlakukan seperti raja oleh partai politik atau orang-orang yang berniat untuk menjadi calon penguasa. Toh, atas nama ritual akbar ini, tidak ada yang boleh protes atau merasa dirugikan. Di tengah naiknya berbagai kebutuhan pokok dan biaya hidup yang semakin tinggi, mendapat tawaran mudik gratis dari partai atau calon presiden adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.

Mudik bukan hanya sekedar tradisi pulang kampung untuk berlebaran bersama keluarga dan orang-orang yang dicintai. Lebih dari itu, mudik adalah manifestasi dari kondisi kejiwaan manusia yang selalu rindu pada sebuah titik di mana ia memulai kehidupannya. Karena hidup adalah ibarat perjalanan, maka ada satu titik tertentu di mana manusia merasa lelah dan membutuhkan momen untuk mendapat energi dan memulai lagi perjalanannya, yang bisa ditemukan dengan perjumpaan kembali dengan asal muasal, baik secara fisik maupun rohani. Ibu, kerabat dan saudara, teman masa kecil, sudut-sudut kampung tempat kita biasa bermain, dan juga ziarah ke makam orang tua atau leluhur sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan kepada mereka yang telah membentuk kehidupan kita saat ini. Dan itulah yang dicari dari makna mudik yang sesungguhnya.

Kerinduan dan keterikatan terhadap asal muasal itulah yang barangkali menjelaskan kenapa para pemudik menempuh segala cara dan resiko untuk tetap bisa pulang ke kampung halaman. Bukan hanya biaya perjalanan yang berlipat atau kenyamanan sarana transportasi yang bagi sebagian besar pemudik masih menjadi mimpi, bahkan beberapa dari mereka kadang tidak pernah sampai ke kampung halaman karena harus dirawat di rumah sakit atau meregang nyawa di jalan. Meski demikian, ritual mudik tetap tidak bisa ditinggalkan. Meminjam istilah seorang psikolog, John Holt, mudik adalah ekspresi kerinduan seorang bayi yang selalu kembali ke pangkuan ibunya untuk mendapat energi setelah lelah bermain, begitu seterusnya. Lebih jauh lagi, mudik sesungguhnya adalah pengakuan dan kerinduan manusia terhadap asal muasalnya, yaitu Tuhan sang Pencipta.

Namun, aku memilih absen dari ritual akbar tersebut tahun ini. Bukan karena telah kehilangan identitas dan kesadaran akan asal muasalku. Jika harus memilih, sesungguhnya aku tetap berhasrat untuk pulang dan menyatu sejenak dengan titik sejarahku sendiri. Tetapi ada beberapa pertimbangan yang membuatku harus tetap tinggal di tanah perantauanku. Dan di hari-hari menjelang lebaran seperti ini, aku tetap meniatkan diri untuk mudik secara rohani, di mana hanya batin dan anganku yang kembali untuk menjelajahi setiap sudut rumah tempat aku dibesarkan, membayangkan wajah ibu yang sudah mulai renta, istriku yang menunggu dengan sabar, anakku yang mulai belajar bicara, saudara dan kerabat yang selalu memberikan kehangatan, teman-teman masa kecil yang ikut mewarnai lembar kehidupanku, juga makam Bapak yang sudah beberapa tahun tidak aku kunjungi. Maaf, aku tidak ikut mudik tahun ini...




6 komentar:

Anonim Senin, 06 Oktober, 2008  

Sama oom , ai juga g ikut mudik kok...!@

Maz bow Senin, 06 Oktober, 2008  

saya tidak mudik....teu boga acis....

Saefudin Amsa Selasa, 07 Oktober, 2008  

tengkyu2 koment nya. hehe..apa itu teu boga acis?

Ahmad Sahidah Jumat, 10 Oktober, 2008  

Saya juga tidak mudik, tetapi lewat telepon silaturahmi dan sungkem dengan orang tua tertunai.

Sebuah ulasan yang menyentuh.

Anonim Jumat, 10 Oktober, 2008  

mas ahmad, untung sekarang sudah ada hape ya...

Anonim Selasa, 04 November, 2008  

mudik..? sedih kalo denger kalimat ini, niat hati pengen pulang, tapi hidup memang harus memilih.., jai inget lagunya ebiet g ade " ..aku ingin pulang.."

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP