Diberdayakan oleh Blogger.

pak dokter paru di bandara cengkareng

31.3.09

/* hilangkan navbar ----------------------------- */ #navbar-iframe { height:0px; visibility:hidden; display:none }

Saya sebenarnya sudah tidak ingin mengungkit luka lama. Selain karena banyak pekerjaan yang lebih penting, mengingatnya membuat saya teringat kejadian 2 tahun yang lalu. Namun bukankah kadang kita diingatkan oleh sebuah momen dalam hidup kita dengan momen yang lain pula?

Sore itu, 22 Maret 2009, saya tengah di bandara Cengkareng, menunggu penerbangan ke Medan. Pandangan mata saya tertuju pada sosok yang berjalan santai menuju pintu keberangkatan. Saya seperti mengenal sosok lelaki setengah baya dengan rambut setengah memutih, berkulit bersih dan berkaca mata itu. Gaya berjalannya yang khas masih saya ingat. Seperti sebuah deja vu. Tapi di mana? Saya berusaha keras mengingat daftar kerabat, kolega, kenalan, atau siapa saja yang pernah masuk dalam hidup saya. Siapa? Dan ketika ia hampir lenyap dari pandangan, barulah saya mengingatnya. Gerbang keberangkatan pesawat tujuan Solo yang dimasukinya membuat saya yakin bahwa saya memang pernah mengenalnya.

Januari 2006. Bapak saya terbaring di sebuah rumah sakit di Solo karena kanker paru-paru yang diidapnya. Bersama ibu, istri dan saudara, kami bergiliran menunggui bapak, mengajaknya berdoa atau memijit badannya saat pegal karena terlalu lama berbaring. Kondisi bapak sudah sangat lemah dan gering. Setiap beberapa hari, seorang dokter spesialis paru datang untuk memeriksa. Setiap pak dokter paru datang, ia memeriksa kondisi bapak dengan steteskopnya, tidak lama. Lalu setelah itu ia hanya berucap beberapa kata kepada suster tentang obat yang harus diberikan pada hari itu. Begitu yang dilakukannya setiap kali datang. Saya yang tidak puas hanya bisa mengira bahwa mungkin ada pasien lain yang harus ditangani pak dokter. Tapi saya juga berbaik sangka dengan mengambil kesimpulan bahwa dokter ini pasti sudah terbiasa menangani pasiennya. Rutinitas pemeriksaan yang pasti sudah ia jalani bertahun-tahun dan sudah sangat ia hafal caranya.

Sampai suatu ketika, pak dokter paru memanggil saya. Dengan wajah datar, pak dokter berkata bahwa ia sudah berusaha keras, namun kemungkinan bapak untuk bertahan sangatlah tipis. Saya diam, menatap wajahnya lekat-lekat. Jujur, saya tidak terlalu kaget dengan ucapan pak dokter. Justru karena menganggapnya dokter berpengalaman, saya menebak kira-kira berapa kali ia mengucapkan ini kepada keluarga pasien yang pernah ditanganinya. Subuh hari berikutnya, tepat di hari keempat belas masa perawatan, saya, ibu dan istri mengantarkan saat-saat terakhir ketika bapak pergi menghadap Tuhan. Rasa perih yang tidak juga hilang sampai beberapa tahun lamanya.

Saya sendiri tetap berprasangka baik bahwa pak dokter paru itu sudah menganalisa, atau berusaha keras menyembuhkan bapak saya dengan membuka-buka kembali dari buku referensi atau catatan tentang penyakit paru yang ia punya. Apalagi dari cara memeriksa bapak saya, jam terbang yang ia miliki pasti sudah tinggi. Saya juga tidak menganggap bahwa peran seorang dokter adalah segala-galanya. Lagipula, kami sekeluarga sudah mengantisipasi hal terburuk melihat hasil diagnosa yang menyebutkan kanker paru-paru yang diderita bapak sudah mencapai stadium akhir.

Namun sebagai orang awam yang bisa tahu dunia medis hanya dari buku atau referensi lainnya, tugas seorang dokter bukan hanya memeriksa atau mengobati, tetapi juga memberikan semangat dan motivasi pada pasien yang ia tangani. Apalagi untuk penyakit kanker, di mana motivasi dan semangat untuk melawan kanker memainkan peran yang tidak kalah penting dari pengobatan fisik. Saya hanya membayangkan, bahwa jika saja dalam masa perawatannya bapak saya mendapat perhatian yang lebih dari sekedar obat dan pemeriksaan fisik, barangkali ia akan lebih merasa nyaman atau tidak terlalu merasakan sakit yang membuat beliau tidak pernah bisa tidur selama masa empat belas hari masa perawatannya.

Dalam sebuah referensi yang saya cari di internet, seorang ahli terapi kanker, Max Gerson mengatakan bahwa ”kondisi mental penderita dan kerjasama psikologis dari keluarga serta lingkungan memainkan peran penting dalam restorasi tubuh. Setiap pasien membutuhkan kesetiaan, kasih, harapan dan semangat”. Lebih sekedar karena hak sebagai pasien yang sudah membayar, proses penyembuhan –dalam kasus penyakit apapun- tidak hanya soal teknologi atau obat yang digunakan, tetapi juga harapan yang harus selalu ditumbuhkan. Rutinitas atau kebiasaan tidak bisa mengalahkan empati dan kemanusiaan, apalagi oleh jumlah penderita yang harus ditangani.

Sore itu sosok pak dokter paru di bandara cengkareng kembali membuat dada saya terasa sesak dan perih. Barangkali bapak saya hanya salah satu saja dari sekian banyak pasien yang pernah ditanganinya. Tapi bagi saya, kehilangan bapak adalah masa-masa tersulit dalam hidup saya. Adakah pak dokter mengetahuinya?

0 komentar:

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP