Diberdayakan oleh Blogger.

Rembang 1 : Gus itu….

6.8.08

/* hilangkan navbar ----------------------------- */ #navbar-iframe { height:0px; visibility:hidden; display:none }

Sebuah siang yang panas di bulan Maret tahun 2003. Setelah dihempas selama beberapa jam dalam bis yang penuh sesak tanpa AC dari Semarang menuju Rembang, kami terhuyung-huyung keluar, tepat di depan pasar yang terletak di sebuah sudut persimpangan jalan yang menghubungkan Rembang dengan Tuban. Tujuan pertama kami adalah sebuah warung, tempat kami mengisi perut dengan sepiring nasi pecel dan es teh. Beberapa lelaki berkulit legam nampak asyik mengolesi batang rokok dengan ampas kopi. Di meja tempat kami makan, terlihat puluhan batang rokok yang sudah diolesi ampas kopi berjejer rapi.

Kepada salah seorang dari lelaki pengoles rokok tersebut, kami menanyakan alamat yang akan kami tuju. Berbekal informasi yang ada, kami lalu berjalan melewati jalan kampung yang teduh penuh rimbun pepohonan tua, sembari sesekali membicarakan sosok yang akan kami temui. Seorang kiai muda yang namanya cukup terkenal di wilayah Rembang. Setelah berjalan beberapa saat, lamat-lamat terdengar suara yang berasal dari pengeras suara. Suara seseorang yang sedang memberikan pengajian dengan menggunakan metode khas pesantren, yaitu membaca kitab dalam bahasa Arab dan menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat. Di sebuah gang sempit yang membawa kami menuju sumber suara, kami melewati barisan orang-orang yang rata-rata sudah berusia sepuh yang dengan khusyu’ menyimak kitab kuning sambil bersimpuh di emperan setiap deretan rumah. Kami bertanya sekali lagi, untuk kemudian dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan.

Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah seseorang berusia sekitar 30-an, berbadan sedikit gempal dengan wajah yang terlihat teduh dan ramah. Mengenakan baju koko yang nampak longgar dan kopiah putih, senyumnya mengembang menyambut kami. Setelah berkenalan, kami menyampaikan maksud, yaitu mahasiswa yang sedang mengadakan penelitian tentang tradisi keagamaan lokal dan bermaksud mencari tumpangan selama beberapa hari. Dengan halus, Gus muda tersebut meminta maaf karena tidak bisa membantu karena sampai saat ini pondoknya hanya untuk santri laki-laki dan tidak bisa menampung seorang perempuan –istri saya saat ini. Setelah itu kami terlibat obrolan hangat seputar penelitian, asal dan hal-hal lainnya. Sebuah sambutan yang tulus, meski belakangan kami menyadari telah menghentikan sejenak kesibukan sang Gus memberikan pengajian kepada santri-santrinya dengan pengeras suara tadi.

Pada awalnya, kami hanya tahu sedikit informasi tentang sosok kiai muda tersebut. Menurut seorang tokoh masyarakat Rembang yang memberikan informasi pada kami sebelumnya, Gus ini adalah seorang kiai muda yang cerdas, kharismatik, tapi sederhana. Banyak politisi dan orang-orang berpengaruh datang kepadanya untuk kepentingan politik tertentu, namun kiai muda ini menampiknya. Ia hanya berkonsentrasi mengurusi pesantren peninggalan almarhum ayahnya yang juga salah seorang kiai besar di Rembang, sambil berkhidmat menemani ibunya yang sudah sepuh. Konon Gus ini punya ilmu laduni, ilmu hikmah yang dipercaya orang Islam hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu karena kedekatannya dengan Allah.

Saya masih mengingat betul suatu siang di bulan Maret 2003 itu. Penolakan sang Gus terhadap tujuan awal kunjungan kami sedikitpun tidak menimbulkan rasa kecewa, bahkan sebaliknya kami merasa mendapat begitu banyak hikmah berharga –baik moral maupun spiritual- dari obrolan kami dengan Gus muda yang sederhana tersebut. Keramahan dan kehangatannya saat menyambut kami yang notabene “orang asing” benar-benar menunjukkan sikap seorang yang berilmu tinggi namun tetap rendah hati dan terbuka

Dan saat ini, di hari-hari gaduh menjelang pesta demokrasi, saya kembali teringat sosok dan senyum ramah sang Gus muda. Hari-hari di mana begitu banyak pembesar di negeri ini yang merasa paling pintar, saling berpacu mendeklarasikan dirinya sebagai yang terpilih dan paling layak memimpin, tapi sesungguhnya jejak rekam yang dimilikinya jauh dari kualitas seorang pemimpin. Pepatah Jawa bilang rumongso iso ning ora iso rumongso, atau orang yang merasa bisa tapi tidak bisa merasa atau berefleksi apakah dia pantas atau tidak. Sebaliknya, Gus muda tadi adalah cermin pemimpin yang meski punya pengaruh, pintar dan begitu dihormati oleh orang banyak tetapi justru menghindar dari popularitas, dan lebih memilih mengabdi dalam ‘’kesunyian’’ dan kerendahhatian. Sosok pemimpin yang menyediakan tenaga, pikiran dan waktunya untuk orang-orang yang membutuhkan sesuai dengan kemampuannya. Sosok yang senantiasa dicintai bukan karena polesan citra, tapi kerja nyata, bukan mereka yang merengek-rengek dan menjual harga dirinya hanya untuk meraup nominal suara demi mencapai kursi kekuasaan.

Teringat Gus muda di sebuah pesantren di Rembang, saya sungguh merasa bersyukur bahwa di tengah hingar-bingar iklan pemmpin yang pamer kepintaran dan kekayaan, masih ada sosok panutan yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat dengan penuh keikhlasan dan kerendahhatian.



2 komentar:

Anonim Kamis, 07 Agustus, 2008  

Wah, ceritanya nostalgia nih bos...nama Gus nya siapa?

Anonim Kamis, 07 Agustus, 2008  

Mas, nama Gus nya siapa to?

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP