Diberdayakan oleh Blogger.

Maling di Rumahku dan Potret Kecil Indonesia…

12.2.08

/* hilangkan navbar ----------------------------- */ #navbar-iframe { height:0px; visibility:hidden; display:none }

Hari ini saya menelpon Ibu yang tinggal sendirian di kampung saya di Boyolali. Ibu bercerita kalau beberapa hari kemarin saat beliau sedang pergi ke rumah kakak saya di Yogya, rumah kami kemasukan maling. Tidak ada barang berharga di rumah kami, selain koleksi buku dan sebuah televisi tua yang pada saat kejadian kebetulan dititipkan di rumah tetangga. Maling yang tidak beruntung itu membawa lari sebuah dandang (tempat memasak nasi/air) dan sebuah panci kecil di dapur.

Ibu melaporkan peristiwa tersebut ke kepala desa karena kemalingan di rumah kami sudah terjadi beberapa kali. Sebelumnya, maling berhasil menjebol atap dan mengambil beras persediaan sehari-hari. Nasib serupa juga dialami beberapa tetangga yang kehilangan televisi dan benda berharga lainnya.

Namun ternyata tindakan Ibu sebagai warga yang ingin mendapat keadilan dari pemimpinnya itu tidak mendapat jawaban atau pelayanan semestinya. Pak Lurah malah berkata,” Lha apa saya harus mengganti dandang dan pancinya?! Apa saya harus mengawasi rumah panjenengan (anda) setiap malam?! Panjenengan itu sendiri yang harus waspada agar tidak ada maling masuk..”

Mendengar jawaban pak Lurah yang tidak semestinya itu ibu saya –yang “hanya” tamatan SD tetapi sampai saat ini masih tercatat sebagai ketua Muslimat (organisasi wanita NU tingkat kecamatan) dan aktif di beberapa organisasi masyarakat di kampung- balik berkata,” Saya itu tidak minta dandang saya di kembalikan. Saya hanya minta kamu sebagai pemimpin bertanggung jawab atas keamanan wargamu”.
Mendengar cerita ibu saya soal maling itu saya merenung. Kehilangan dandang dan panci tentu saja adalah perkara kecil. Tetapi masalah yang lebih besar bagi saya adalah tanggapan pak Lurah terhadap laporan Ibu saya yang mencerminkan model pemimpin yang tidak mau peduli terhadap persoalan yang dihadapi warganya. Pemimpin yang gagal memenuhi tanggungjawabnya, dalam hal ini tanggungjawab untuk menjamin rasa aman pada diri seluruh warganya.

Ironisnya, rumah pak Lurah terletak di belakang rumah saya. Artinya pak Lurah tersebut gagal total dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang pemimpin karena tidak peduli pada potensi gangguan keamanan terhadap warganya, bahkan ketika hal itu terjadi di depan matanya sendiri.

Sekedar cerita, pak Lurah di kampung saya tergolong masih muda. Sebelum jadi lurah ia bukan tipe orang yang suka bersosialisasi di masyarakat. Ia jarang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di kampung. Warga lebih mengenalnya sebagai seorang paranormal yang laris dan hampir tidak pernah keluar rumah. Setiap hari rumahnya selalu dikunjungi banyak orang yang ingin mencari peruntungan, mulai dari yang bermobil mewah sampai yang datang naik ojek. Lalu ketika waktu pemilihan kepala desa, ia sibuk meminta dukungan, berkeliling ke rumah-rumah warganya. Konon ia menghabiskan duit ratusan juta rupiah dalam pilkades, dan akhirnya hanya menang tipis dari lurah lama yang terbilang cukup sukses dan dicintai warga selama masa kepemimpinannya.

Belakangan, warga mulai menyangsikan kemampuan pak Lurah ini untuk memimpin desa kami. Selain soal keamanan desa yang mulai terusik, warga juga mempermasalahkan kesibukannya sebagai seorang paranormal mengalahkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala desa. Di desa kami ada guyonan bahwa balai desa saat ini bukan lagi tempat untuk melayani masyarakat dan menjalankan roda pemerintahan desa, tetapi sudah menjadi tempat praktek perdukunan.
Pak Lurah ini juga bahkan sering membuat blunder yang merusak citra dan kepercayaan warga. Ada satu kejadian yang kebetulan saya saksikan sendiri. Ceritanya, pasca pilkades bulan Februari 2007, desa kami terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu mantan Lurah dan kubu Lurah baru. Sampai saat ini ini pak Lurah tidak bisa meredam konflik tersebut dan justru dia sendirilah yang membuat suasana semakin panas. Nah, saat saya sedang liburan di kampung, saya mengikuti acara selamatan di rumah tetangga. Kebetulan dalam acara tersebut hadir para sesepuh dan tetua desa yang berseberangan dengannya. Pada saat itu pak Lurah meminta warga untuk bersatu kembali dan tidak mempeributkan siapa yang menang dalam pilkades.

“Jadi saya selaku kepala desa meminta warga untuk bersatu kembali. Tidak usah ada kubu-kubuan. Terutama pesan saya ini saya tujukan kepada para sesepuh, mohon ikut menjaga situasi agar rukun dan damai. Setuju tidak mbah Pur?” Tanya pak Lurah meminta konfirmasi dari mbah Pur, salah seorang tokoh desa kami yang bersebarangan dengannya. Blunder terjadi ketika tokoh yang ditanya tidak menjawab karena memang sedang ada perang dingin diantara keduanya.

Pak Lurah pun naik pitam dan berkata,”Semoga panjenengan tidak mendengar selamanya”. Sontak seluruh warga yang hadir pun kaget dan berguman mendengarkan reaksi pak Lurah yang sama sekali tidak bijaksana itu.

Begitulah jika seorang pemimpin berasal dari produk karbitan. Pemimpin yang tidak tahu bagaimana cara memetakan dan mengurai problem sosial kemasyarakatan yang dihadapi warganya. Pemimpin yang ingin dipandang dari jabatannya, namun ia sendiri tidak bisa menunjukkan rasa hormat dan penghargaannya kepada rakyatnya sendiri. Alih-alih menjadi tokoh pemersatu, ia bahkan menjadi sumber konflik itu sendiri. Pemimpin yang tidak bisa memberikan solusi, suka melemparkan kesalahan kepada orang lain karena memang sama sekali tidak tahu apa yang harus dia kerjakan.

Apa yang terjadi di kampung saya adalah potret kecil dari situasi yang terjadi di negeri ini. Pemimpin kita saat ini adalah adalah mereka yang datang dan dengan segala cara merayu warga pada saat kampanye, tetapi bersembunyi atau memalingkan muka saat rakyat membutuhkan. Jangankan menyediakan waktu untuk melihat atau mendengar keluh kesah rakyat, memikirkan nasib rakyatnya pun sama sekali tidak. Pemimpin yang hati nuraninya dikalahkan oleh ego dan syahwat kekuasaan, tetapi sama sekali tidak punya visi dan tanggung jawab moral terhadap kekuasaan yang ia pegang.

Dari cerita Ibu tentang maling dandang dan panci, dari kampung kecil di pelosok Boyolali, saya jadi sadar bahwa negeri ini betul-betul butuh pemimpin yang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar warganya, tetapi juga sekaligus menjadi sosok yang mengayomi, melindungi dan memberikan rasa aman bagi rakyatnya.

0 komentar:

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP