Komodifikasi dakwah Islam di televisi
16.6.16
Sebuah stasiun televisi swasta beberapa bulan belakangan ini kembali menayangkan acara kontes dai. Para pemuda muda dari berbagai daerah di Tanah Air ”mengadu nasib” untuk menjadi pemenang. Sama seperti fenomena kontes idol-idolan atau pencarian bakat artis yang lebih dulu meramaikan industri televisi di Tanah Air, kemenangan kontestan dai tidak diukur berdasar kemampuan orasi, kedalaman ilmu atau kearifan perilaku, tetapi oleh banyaknya dukungan dari pesan pendek penonton dan sedikit komentar juri.
Kontes dai idol hanyalah salah satu potret dari gambaran dakwah (lisan) di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Sebelumnya, selama hampir dua dekade, dakwah di Indonesia hanya mengenal beberapa nama, salah satunya yang paling fenomenal adalah almarhum Zainuddin MZ. Gaya ceramah Zainuddin yang khas–perpaduan antara logika yang runtut, logat betawi yang jenaka dan humor cerdas–menjadikannya sebagai penceramah yang paling populer pada masanya.
Lalu munculnya banyak stasiun televisi pada 1990-an seolah mengubah potret dunia dakwah di Indonesia yang sebelumnya identik dengan nama Zainudin MZ. Televisi memberi ruang bagi kemunculan figur-figur dai atau pendakwah baru yang sebelumnya relatif tidak dikenal luas di masyarakat.
Melalui televisi, publik kemudian mengenal nama-nama seperti Abdullah Gymnastiar, Jefri Al Bukhori, Yusuf Mansyur atau yang sedang naik daun beberapa waktu terakhir seperti Mamah Dedeh, Nur Maulana, Soleh Mahmud atau nama-nama lainnya dengan berbagai gaya dan bidikan segmen masing-masing. Tetapi, berbeda dengan Zainudin, popularitas para dai yang muncul belakangan di televisi tidak berumur lama.
Dengan cepat, tayangan dakwah Islam di televisi selalu diisi oleh dai-dai baru yang hadir silih berganti. Tentu bukan tanpa sebab mengapa kiprah para pendakwah yang dikenal publik di televisi cenderung hanya berusia seumur jagung. Dalam hal ini, televisi yang menjadi ruang bagi munculnya figur baru di dunia dakwah pada dasarnya memiliki agenda tersendiri.
Televisi, menurut Douglas Kellner, telah menjadi jaringan kapitalisme maju (advanced capitalism) yaitu memainkan peran penting dalam menjual komoditas gaya hidup kepada masyarakat dan hanya memproduksi acara yang sedang disukai masyarakat (Kellner, 1981:33). Dalam kapitalisme, tugas utama televisi adalah mengampanyekan budaya konsumerisme sekaligus mencari keuntungan melalui iklan.
Oleh televisi, agama yang menjadi bagian tak terpisahkan dari individu dan masyarakat dijadikan komoditas untuk meraih keuntungan. Tayangan agama di televisi–alam hal ini dakwah—dikemas sedemikian rupa untuk memenuhi selera pasar. Konsekuensinya, para dai yang dibesarkan oleh televisi akan mudah dilupakan jika memang selera masyarakat menghendaki demikian.
Proses komodifikasi dakwah di televisi inilah yang kemudian mewarnai potret dakwah di Indonesia. Televisi telah mengubah dakwah tidak lebih dari sekadar hiburan. Para dai yang mengisi tayangan dakwah tersebut kemudian dengan cepat menjadi idola dan figur baru di masyarakat. Mereka yang semula hanya dikenal dan berpengaruh di lingkungan sekitarnya, tiba-tiba menjadi sedemikian terkenal di luar komunitas dan masyarakatnya karena memanfaatkan (atau dimanfaaatkan oleh) teknologi informasi.
Umat tidak hanya senang dengan gaya dan materi ceramah mereka, bahkan ada juga yang sampai meniru gaya berpakaian sang dai yang mereka idolakan. Dengan alasan mengangkat citra agama, adakalanya para dai itu juga berperilaku dan bergaya hidup seperti selebritas, lekat dengan simbol-simbol kemewahan dan gaya hidup modern lainnya.
Agen Perubahan Sosial
Di satu sisi, tayangan dakwah di televisi membuat citra Islam menjadi lebih responsif terhadap dinamika zaman. Publik bisa mendapatkan informasi keagamaan atau mendapat jawaban mengenai persoalan Namun, di sisi lain, komodifikasi tayangan dakwah menimbulkan keprihatinan tersendiri karena agama yang sakral hanya dijadikan bumbu atau pemanis dari realitas hal-hal yang profan.
Semangat dan esensi agama lebur dalam ingar bingar industri hiburan. Esensi dakwah hilang ditelan iklan, sementara para dai tersebut dikenal tidak lebih dari busana yang dikenakan, gaya hidup bak selebritas atau ketika sosok mereka muncul dalam acara gosip atau infotainment.
Dari sisi substansi, kebanyakan para dai di televisi juga cenderung terjebak untuk mengurusi ruang privat agama dan melupakan dimensi sosialnya. Umat diajak untuk mencari pahala sebanyak-banyaknya melalui ibadah ritual, tetapi mengabaikan nasib umat mereka yang diimpit kesulitan hidup dan ditindih berbagai persoalan sosial yang nyata. Ironi itu menjadi semakin nyata ketika dengan terang-terangan para dai tersebut malah dengan bangga memamerkan harta benda dan kemewahan mereka di hadapan kamera televisi.
Ketika dakwah agama hanya berorientasi pada popularitas, maka hilanglah misi utama agama yaitu menggerakkan kesadaran dan tindakan umat untuk mewujudkan nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti solidaritas, kesetaraan, antidiskriminasi dan keadilan sosial.
Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang peduli pada kaum lemah (mustadhafin). Spirit perjuangannya berasal dari refleksi atas kondisi masyarakat Arab yang saat itu lebih mengutamakan harta dan kekuasaan tetapi mengabaikan prinsip solidaritas dan kesetaraan. Jika sebuah hadis mengatakan ”ulama adalah pewaris nabi”, artinya tugas dan peran nabi sebagai penyampai ajaran agama sekaligus agen perubahan sosial di masyarakat sudah seharusnya melekat pada diri seorang ulama atau dai.
Dalam konteks peran pendakwah sekaligus agen perubahan sosial inilah yang membuat kita harus berpikir kritis sejauh mana peran kontes dai atau acara dakwah di televisi selain tidak lebih dari sekedar komodifikasi agama sebagi strategi untuk mengeruk keuntungan belaka. Terlalu muluk rasanya bermimpi jika dai yang tampil di acara tersebut kelak tidak hanya menjadi pendakwah yang fasih mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga berani menyuarakan kepentingan kemanusiaan yang dinistakan oleh kekuasaan dan juga industri.
Berharap mereka akan menyuarakan suara masyarakat yang lemah dan dimiskinkan oleh kapitalisme menjadi mustahil karena mereka sendiri dibesarkan oleh media. Apalagi membayangkan mereka akan menjadi aktor yang ikut berperan dalam kerja-kerja nyata mengentaskan berbagai persoalan dan karut marut di negeri ini seperti korupsi, kemiskinan dan kebodohan, karena setelah ini televisi telah siap menyambut mereka menjadi selebritas baru yang dimanjakan oleh popularitas dan kemewahan.
Kontes dai idol hanyalah salah satu potret dari gambaran dakwah (lisan) di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Sebelumnya, selama hampir dua dekade, dakwah di Indonesia hanya mengenal beberapa nama, salah satunya yang paling fenomenal adalah almarhum Zainuddin MZ. Gaya ceramah Zainuddin yang khas–perpaduan antara logika yang runtut, logat betawi yang jenaka dan humor cerdas–menjadikannya sebagai penceramah yang paling populer pada masanya.
Lalu munculnya banyak stasiun televisi pada 1990-an seolah mengubah potret dunia dakwah di Indonesia yang sebelumnya identik dengan nama Zainudin MZ. Televisi memberi ruang bagi kemunculan figur-figur dai atau pendakwah baru yang sebelumnya relatif tidak dikenal luas di masyarakat.
Melalui televisi, publik kemudian mengenal nama-nama seperti Abdullah Gymnastiar, Jefri Al Bukhori, Yusuf Mansyur atau yang sedang naik daun beberapa waktu terakhir seperti Mamah Dedeh, Nur Maulana, Soleh Mahmud atau nama-nama lainnya dengan berbagai gaya dan bidikan segmen masing-masing. Tetapi, berbeda dengan Zainudin, popularitas para dai yang muncul belakangan di televisi tidak berumur lama.
Dengan cepat, tayangan dakwah Islam di televisi selalu diisi oleh dai-dai baru yang hadir silih berganti. Tentu bukan tanpa sebab mengapa kiprah para pendakwah yang dikenal publik di televisi cenderung hanya berusia seumur jagung. Dalam hal ini, televisi yang menjadi ruang bagi munculnya figur baru di dunia dakwah pada dasarnya memiliki agenda tersendiri.
Televisi, menurut Douglas Kellner, telah menjadi jaringan kapitalisme maju (advanced capitalism) yaitu memainkan peran penting dalam menjual komoditas gaya hidup kepada masyarakat dan hanya memproduksi acara yang sedang disukai masyarakat (Kellner, 1981:33). Dalam kapitalisme, tugas utama televisi adalah mengampanyekan budaya konsumerisme sekaligus mencari keuntungan melalui iklan.
Oleh televisi, agama yang menjadi bagian tak terpisahkan dari individu dan masyarakat dijadikan komoditas untuk meraih keuntungan. Tayangan agama di televisi–alam hal ini dakwah—dikemas sedemikian rupa untuk memenuhi selera pasar. Konsekuensinya, para dai yang dibesarkan oleh televisi akan mudah dilupakan jika memang selera masyarakat menghendaki demikian.
Proses komodifikasi dakwah di televisi inilah yang kemudian mewarnai potret dakwah di Indonesia. Televisi telah mengubah dakwah tidak lebih dari sekadar hiburan. Para dai yang mengisi tayangan dakwah tersebut kemudian dengan cepat menjadi idola dan figur baru di masyarakat. Mereka yang semula hanya dikenal dan berpengaruh di lingkungan sekitarnya, tiba-tiba menjadi sedemikian terkenal di luar komunitas dan masyarakatnya karena memanfaatkan (atau dimanfaaatkan oleh) teknologi informasi.
Umat tidak hanya senang dengan gaya dan materi ceramah mereka, bahkan ada juga yang sampai meniru gaya berpakaian sang dai yang mereka idolakan. Dengan alasan mengangkat citra agama, adakalanya para dai itu juga berperilaku dan bergaya hidup seperti selebritas, lekat dengan simbol-simbol kemewahan dan gaya hidup modern lainnya.
Agen Perubahan Sosial
Di satu sisi, tayangan dakwah di televisi membuat citra Islam menjadi lebih responsif terhadap dinamika zaman. Publik bisa mendapatkan informasi keagamaan atau mendapat jawaban mengenai persoalan Namun, di sisi lain, komodifikasi tayangan dakwah menimbulkan keprihatinan tersendiri karena agama yang sakral hanya dijadikan bumbu atau pemanis dari realitas hal-hal yang profan.
Semangat dan esensi agama lebur dalam ingar bingar industri hiburan. Esensi dakwah hilang ditelan iklan, sementara para dai tersebut dikenal tidak lebih dari busana yang dikenakan, gaya hidup bak selebritas atau ketika sosok mereka muncul dalam acara gosip atau infotainment.
Dari sisi substansi, kebanyakan para dai di televisi juga cenderung terjebak untuk mengurusi ruang privat agama dan melupakan dimensi sosialnya. Umat diajak untuk mencari pahala sebanyak-banyaknya melalui ibadah ritual, tetapi mengabaikan nasib umat mereka yang diimpit kesulitan hidup dan ditindih berbagai persoalan sosial yang nyata. Ironi itu menjadi semakin nyata ketika dengan terang-terangan para dai tersebut malah dengan bangga memamerkan harta benda dan kemewahan mereka di hadapan kamera televisi.
Ketika dakwah agama hanya berorientasi pada popularitas, maka hilanglah misi utama agama yaitu menggerakkan kesadaran dan tindakan umat untuk mewujudkan nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti solidaritas, kesetaraan, antidiskriminasi dan keadilan sosial.
Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang peduli pada kaum lemah (mustadhafin). Spirit perjuangannya berasal dari refleksi atas kondisi masyarakat Arab yang saat itu lebih mengutamakan harta dan kekuasaan tetapi mengabaikan prinsip solidaritas dan kesetaraan. Jika sebuah hadis mengatakan ”ulama adalah pewaris nabi”, artinya tugas dan peran nabi sebagai penyampai ajaran agama sekaligus agen perubahan sosial di masyarakat sudah seharusnya melekat pada diri seorang ulama atau dai.
Dalam konteks peran pendakwah sekaligus agen perubahan sosial inilah yang membuat kita harus berpikir kritis sejauh mana peran kontes dai atau acara dakwah di televisi selain tidak lebih dari sekedar komodifikasi agama sebagi strategi untuk mengeruk keuntungan belaka. Terlalu muluk rasanya bermimpi jika dai yang tampil di acara tersebut kelak tidak hanya menjadi pendakwah yang fasih mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga berani menyuarakan kepentingan kemanusiaan yang dinistakan oleh kekuasaan dan juga industri.
Berharap mereka akan menyuarakan suara masyarakat yang lemah dan dimiskinkan oleh kapitalisme menjadi mustahil karena mereka sendiri dibesarkan oleh media. Apalagi membayangkan mereka akan menjadi aktor yang ikut berperan dalam kerja-kerja nyata mengentaskan berbagai persoalan dan karut marut di negeri ini seperti korupsi, kemiskinan dan kebodohan, karena setelah ini televisi telah siap menyambut mereka menjadi selebritas baru yang dimanjakan oleh popularitas dan kemewahan.
Tulisan ini pernah dimuat di Harian SOLO POS, 20 Januari 2012
Read more...