Diberdayakan oleh Blogger.

Pengasong buku di bis ekonomi Semarang-Yogya

24.1.13

Beberapa waktu lalu, hampir setiap hari saya menempuh perjalanan Semarang-Yogyakarta. Demi menghemat biaya, bis ekonomi pun menjadi pilihan utama. Tentu saja menggunakan jasa bis ekonomi di negeri yang katanya kaya ini menuntut kesabaran berlipat-lipat. Kondisi bis yang berkarat luar dalam, jok berdebu dan sering lepas saat diduduki, juga kabin yang panas dan pengap karena bis muatan penumpang penumpang bahkan ketika tak ada lagi ruang tersisa untuk bernafas. Belum lagi resiko keselamatan saat sopir menjalankan bis ugal-ugalan karena alasan klasik: kejar setoran.
 
Yang paling membuat kita menambah stok kesabaran adalah saat sopir memutuskan untuk "ngetem", berhenti sejenak untuk menunggu penumpang. Sejenak ini relatif. Lima menit saja bagi penumpang lima jam. Bagi sopir dan awak bis, kalau perlu ngetem bermenit-menit sampai mendapat penumpang sebanyak-banyaknya. Sialnya, ngetem jadi seperti sia-sia. Siapa lagi yang sudi naik transportasi umum di zaman kredit serba mudah dan cepat ini?

Saat ngetem -terutama di terminal- adalah waktu emas bagi para pedagang asongan, dan tentu saja para pengamen. Setiap bis datang ibarat tambang emas yang harus diperebutkan. Jika sudah begitu, kabin yang sudah penuh sesak pun semakin riuh oleh teriakan penjual makanan dan minuman ringan, mainan anak-anak, rokok, korek gas, permen jahe, obat gosok, alat tulis, penambal panci, dan banyak lagi.


Dari sekian banyak pedagang asongan yang saya temui di salah satu terminal, yang menarik perhatian saya adalah penjual buku bacaan. Tidak banyak, hanya ada satu orang. Seorang bapak berwajah ramah dan terus menyungging senyum saat membagikan dagangannya di pangkuan penumpang. Yang ia jual bukanlah buku motivasi sup ayam berlabel best-seller, novel remaja, atau biografi tokoh yang mempublikasikan kesuksesannya. Juga bukan buku keluaran penerbit besar. Sebaliknya, buku-buku cetakan sederhana, berbahan kertas buram, dengan tema-tema seperti buku resep masakan, cerita rakyat, pijat refleksi, panduan belajar untuk anak-anak, dan semacamnya. Rata-rata buku dibanderol dengan harga 5000 rupiah. Murah untuk ukuran kebanyakan orang, tapi mungkin uang yang sangat berharga untuk bapak bertubuh kurus itu.


Dengan harga yang lebih murah dari sebungkus rokok itu, toh tidak banyak orang yang tertarik membeli. Berbeda dengan penjaja rokok, air mineral atau permen yang laris manis, kadang bapak ini cukup beruntung mendapatkan satu atau dua orang saja.

Tidak hanya perpustakaan di kampus-kampus atau toko buku yang nyaman di pusat perbelanjaan, sesungguhnya keberadaan bapak pengasong buku ini juga menjadi cermin bagi wajah bangsa kita dalam hal membaca.

Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP