Diberdayakan oleh Blogger.

Sang Kurir Cinta

19.8.08


Tuhan mengirimkan surat cintanya kepada orang tua lewat
setiap bayi yang dilahirkan ke dunia…


Rabu, 9 Juli 2008. Jam menunjukkan 15.30 ketika sang “Kurir Cinta dari Tuhan” itu hadir. Kami menamainya Freya Naury Ein’elia Amsa. Sebuah doa dan harapan agar ia menjadi seperti cahaya yang mendamaikan dan mata air yang berguna bagi semua orang.

Kelak, saya akan bercerita bahwa perjuangan ibunya saat melahirkan dia adalah salah satu bukti dari keagungan Tuhan sekaligus sebuah drama yang menegangkan. Sebuah proses kelahiran seperti yang dialami oleh hampir semua perempuan di dunia, namun bagi saya –dan juga para lelaki yang menunggui kelahiran bayi mereka- adalah sebuah pengalaman yang membekas dalam ingatan dan kesadaran. Drama yang berlangsung selama empat jam, lengkap dengan klimaks dan antiklimaks, dimulai dari kontraksi terus menerus dan rasa sakit luar biasa, putus asa karena sang bayi tidak juga keluar, detak jantung yang melemah karena kehabisan oksigen, sikap pasrah bercampur kepanikan, dan selebihnya adalah sebuah akhir yang membahagiakan.

Karena ikut menunggui detik-detik kelahirannya, saya semakin menyadari bahwa manusia ini adalah makhluk yang dhaif (lemah). Ilmu medis memang sudah berkembang dengan canggih, namun bagi saya dalam sebuah proses kelahiran ada Tuhan yang ikut “campur tangan” dengan segala kebesaran dan kekuasaan-Nya. Di tengah rintihan kesakitan istri, kesibukan bidan yang bekerja bagai mesin otomatis, dan waktu yang melambat seperti tiada akhir, yang bisa saya lakukan hanya berdoa habis-habisan, membuang rasionalitas dan harapan pada kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran, dan terhenti pada titik kesadaran di mana Tuhan adalah sang penentu.
Di tengah drama itu pula wajah ibu saya hadir dan menari-nari di pelupuk mata, dan ketika semua selesai dengan akhir yang membahagiakan, terngianglah petuah bahwa apa yang telah kita lakukan belumlah apa-apa dibanding ketabahan dan perjuangan seorang perempuan yang bersusah payah melahirkan kita. Ibu, Bunda, Emak atau apapun kita memanggilnya, adalah seperti nabi yang harus menderita dalam tugas yang diembannya masing-masing. Jika nabi harus dicaci maki, dilempar kotoran atau terluka saat menyampaikan sabda suci dari Tuhan, perempuan yang melahirkan harus menderita karena rasa sakit dan berada dalam garis tipis antara melahirkan dengan selamat atau mati syahid saat berjuang menghadirkan makhluk Tuhan yang juga suci ke dunia ini.

Konon, sebelum dilahirkan ke dunia, setiap bayi berbicara kepada Tuhan bahwa mereka takut berada di dunia yang penuh kejahatan. Mereka lebih senang dengan suasana surga yang hangat serta penuh kasih sayang dari Tuhan dan para malaikat. Tuhan lalu berkata kepada sang bayi bahwa ia akan ditemani oleh malaikat yang akan bertugas untuk selalu melindungi dan memberi kasih sayang kepadanya. Malaikat itu adalah ibu, yang sejak hari pertama sang janin tumbuh, lalu bulan-bulan yang dalam Qur’an digambarkan sangat merepotkan (wahnan ‘ala wahnin), saat melahirkan, menyusui dan sampai tahun-tahun seterusnya adalah seperti cermin yang memantulkan kasih sayang Tuhan, atau samudera yang mampu menampung segala keluh dan ketidakberdayaan seorang anak dengan penuh rasa cinta dan kesabaran .

Setiap bayi lahir dalam lantunan doa-doa dan harapan, lewat nama maupun upacara selamatan, agar sang bayi kelak menjadi orang yang baik dan berguna. Pembunuh, maling, perampok, teroris atau orang gila di jalanan pada dasarnya adalah mereka yang dalam hatinya masih tersimpan energi cinta dari Tuhan. Jika pada akhirnya seseorang tidak menjadi seperti yang diharapkan, maka lingkungan tempat ia dibesarkan, model pendidikan yang ia dapat, dan kondisi sosial yang membuat mereka belum mampu menemukan energi cinta dalam dirinya sendiri. Begitu pula presiden, menteri, pengusaha, kiai, orang kaya, orang miskin, cantik, tampan atau bagaimanapun bentuk kehidupan yang dijalani setiap orang pada dasarnya memiliki kesamaan sebagai manusia yang dulunya lahir tanpa membawa apapun selain tangis dan kebingungan. Pangkat, predikat atau label adalah sesuatu yang tidak kekal, namun kemampuan menemukan dan memanifestasikan energi cinta dari Tuhan dalam kehidupan adalah sesuatu yang bisa membuat seseorang lebih bernilai di hadapan Tuhan dan tetap abadi dalam ingatan sejarah manusia itu sendiri.

14 Juli 2008, di akhir empat jam drama yang menegangkan, saya seperti terlempar ke masa lalu yang tak pernah bisa saya ingat sekaligus masuk pada sebuah ruang kesadaran, bahwa menjadi apa kita, apa yang kita lakukan dan sejarah macam apa yang akan kita catat kelak akan menjadi bakti dan bukti cinta bagi ketabahan seorang perempuan yang melahirkan kita. Begitu pula, bagaimana mendidik dan lingkungan seperti apa yang kita ciptakan untuk mendukung perkembangan anak-anak kita akan menjadi cara untuk membalas surat cinta yang dikirimkan Tuhan, sang pemilik Kasih dan Cinta sejati.




Read more...

Rembang 1 : Gus itu….

6.8.08

Sebuah siang yang panas di bulan Maret tahun 2003. Setelah dihempas selama beberapa jam dalam bis yang penuh sesak tanpa AC dari Semarang menuju Rembang, kami terhuyung-huyung keluar, tepat di depan pasar yang terletak di sebuah sudut persimpangan jalan yang menghubungkan Rembang dengan Tuban. Tujuan pertama kami adalah sebuah warung, tempat kami mengisi perut dengan sepiring nasi pecel dan es teh. Beberapa lelaki berkulit legam nampak asyik mengolesi batang rokok dengan ampas kopi. Di meja tempat kami makan, terlihat puluhan batang rokok yang sudah diolesi ampas kopi berjejer rapi.

Kepada salah seorang dari lelaki pengoles rokok tersebut, kami menanyakan alamat yang akan kami tuju. Berbekal informasi yang ada, kami lalu berjalan melewati jalan kampung yang teduh penuh rimbun pepohonan tua, sembari sesekali membicarakan sosok yang akan kami temui. Seorang kiai muda yang namanya cukup terkenal di wilayah Rembang. Setelah berjalan beberapa saat, lamat-lamat terdengar suara yang berasal dari pengeras suara. Suara seseorang yang sedang memberikan pengajian dengan menggunakan metode khas pesantren, yaitu membaca kitab dalam bahasa Arab dan menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat. Di sebuah gang sempit yang membawa kami menuju sumber suara, kami melewati barisan orang-orang yang rata-rata sudah berusia sepuh yang dengan khusyu’ menyimak kitab kuning sambil bersimpuh di emperan setiap deretan rumah. Kami bertanya sekali lagi, untuk kemudian dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan.

Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah seseorang berusia sekitar 30-an, berbadan sedikit gempal dengan wajah yang terlihat teduh dan ramah. Mengenakan baju koko yang nampak longgar dan kopiah putih, senyumnya mengembang menyambut kami. Setelah berkenalan, kami menyampaikan maksud, yaitu mahasiswa yang sedang mengadakan penelitian tentang tradisi keagamaan lokal dan bermaksud mencari tumpangan selama beberapa hari. Dengan halus, Gus muda tersebut meminta maaf karena tidak bisa membantu karena sampai saat ini pondoknya hanya untuk santri laki-laki dan tidak bisa menampung seorang perempuan –istri saya saat ini. Setelah itu kami terlibat obrolan hangat seputar penelitian, asal dan hal-hal lainnya. Sebuah sambutan yang tulus, meski belakangan kami menyadari telah menghentikan sejenak kesibukan sang Gus memberikan pengajian kepada santri-santrinya dengan pengeras suara tadi.

Pada awalnya, kami hanya tahu sedikit informasi tentang sosok kiai muda tersebut. Menurut seorang tokoh masyarakat Rembang yang memberikan informasi pada kami sebelumnya, Gus ini adalah seorang kiai muda yang cerdas, kharismatik, tapi sederhana. Banyak politisi dan orang-orang berpengaruh datang kepadanya untuk kepentingan politik tertentu, namun kiai muda ini menampiknya. Ia hanya berkonsentrasi mengurusi pesantren peninggalan almarhum ayahnya yang juga salah seorang kiai besar di Rembang, sambil berkhidmat menemani ibunya yang sudah sepuh. Konon Gus ini punya ilmu laduni, ilmu hikmah yang dipercaya orang Islam hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu karena kedekatannya dengan Allah.

Saya masih mengingat betul suatu siang di bulan Maret 2003 itu. Penolakan sang Gus terhadap tujuan awal kunjungan kami sedikitpun tidak menimbulkan rasa kecewa, bahkan sebaliknya kami merasa mendapat begitu banyak hikmah berharga –baik moral maupun spiritual- dari obrolan kami dengan Gus muda yang sederhana tersebut. Keramahan dan kehangatannya saat menyambut kami yang notabene “orang asing” benar-benar menunjukkan sikap seorang yang berilmu tinggi namun tetap rendah hati dan terbuka

Dan saat ini, di hari-hari gaduh menjelang pesta demokrasi, saya kembali teringat sosok dan senyum ramah sang Gus muda. Hari-hari di mana begitu banyak pembesar di negeri ini yang merasa paling pintar, saling berpacu mendeklarasikan dirinya sebagai yang terpilih dan paling layak memimpin, tapi sesungguhnya jejak rekam yang dimilikinya jauh dari kualitas seorang pemimpin. Pepatah Jawa bilang rumongso iso ning ora iso rumongso, atau orang yang merasa bisa tapi tidak bisa merasa atau berefleksi apakah dia pantas atau tidak. Sebaliknya, Gus muda tadi adalah cermin pemimpin yang meski punya pengaruh, pintar dan begitu dihormati oleh orang banyak tetapi justru menghindar dari popularitas, dan lebih memilih mengabdi dalam ‘’kesunyian’’ dan kerendahhatian. Sosok pemimpin yang menyediakan tenaga, pikiran dan waktunya untuk orang-orang yang membutuhkan sesuai dengan kemampuannya. Sosok yang senantiasa dicintai bukan karena polesan citra, tapi kerja nyata, bukan mereka yang merengek-rengek dan menjual harga dirinya hanya untuk meraup nominal suara demi mencapai kursi kekuasaan.

Teringat Gus muda di sebuah pesantren di Rembang, saya sungguh merasa bersyukur bahwa di tengah hingar-bingar iklan pemmpin yang pamer kepintaran dan kekayaan, masih ada sosok panutan yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat dengan penuh keikhlasan dan kerendahhatian.



Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP