Diberdayakan oleh Blogger.

Melihat Hukum Cambuk, Melihat Wajah Kita

5.5.08



Saya pernah menyaksikan secara langsung pelaksanaan pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh, tepatnya di Kabupaten Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat. Menyaksikan pelaksanaan hukum cambuk secara langsung ternyata berbeda dengan melihat tayangan hukuman tersebut di TV atau membaca dari media cetak. Banyak sisi lain dari pelaksanaan hukum cambuk tersebut
yang sebenarnya mencerminkan realitas yang terjadi di masyarakat dan bisa jadi merupakan wajah masyarakat kita sendiri.

Selesai sholat Jum’at, ketika matahari tengah panas-panasnya, ratusan orang mulai berduyun-duyun datang ke depan Masjid Agung Nagan Raya. Di halaman masjid telah berdiri sebuah panggung yang penuh hiasan, layaknya sebuah panggung untuk pertunjukan hiburan. Di samping panggung, terdapat sebuah tenda yang menaungi deretan kursi empuk berukir, di mana beberapa pejabat lokal, baik dari pemda maupun pejabat penegak hukum serta para ulama duduk dengan jumawa menyaksikan rakyat dan umatnya sambil menikmati makanan dan minuman kecil yang terhidang. Tidak ketinggalan, dari sound system yang sudah disiapkan oleh panitia pelaksana hukuman cambuk mengalun musik-musik yang bernuansakan Islami.

Ketika waktunya tiba, sebuah mobil tahanan masuk ke halaman masjid. Segera saja massa berdesak-desakan mengerumuni mobil berwarna hijau tua, ingin tahu lebih dekat wajah-wajah sang terhukum yang hanya bisa tertunduk saat keluar dari mobil tahanan. Lalu dimulailah prosesi pelaksanaan hukuman. Seorang petugas membacakan susunan acara pelaksanaan hukuman, diantaranya pembukaan, pembacaan Al Quran, tidak lupa juga sambutan-sambutan dari para pejabat lokal. Dalam sambutannya, seorang pejabat lokal mengatakan bahwa acara hari tersebut adalah bukti keseriusan pemda untuk menerapkan syariat Islam. Bahwa hukuman ini hendaknya menjadi hukuman yang pertama dan yang terakhir. Bahwa syariat Islam adalah keharusan untuk menghilangkan penyakit masyarakat seperti judi, minuman keras dan zina dan sebagai upaya untuk menerapkan ajaran Islam secara Kaffah (total, menyeluruh).

Satu persatu para tahanan yang berpakaian putih-putih dibawa naik ke atas panggung sambil tertunduk lesu dan pasrah. Seorang aparat hukum setempat menerima 4 buah rotan (sesuai dengan jumlah terhukum) dari seorang pejabat lokal, dan dengan bangga mengacung-acungkan cambuk itu ke udara seperti mengacung-acungkan piala kemenangan sebuah kejuaraan. Lalu dimulailah acara “suci” itu. Dua orang algojo dengan muka tertutup bersiap dengan mengenggam sebuah cambuk, atau lebih tepat tongkat rotan sepanjang lebih kurang 1 meter dan diameter 0,75 milimeter. Satu-persatu para terhukum menerima cambukan di punggungnya, masing-masing sebanyak tujuh kali. Setiap kali mereka selesai menerima cambukan, para terhukum dibawa turun dari panggung, bersalaman dengan bapak-bapak pejabat, menerima bingkisan, lalu kemudian di bawa masuk kembali ke mobil tahanan. Begitu terhukum terakhir selesai dicambuk dan dibawa ke mobil tahanan, secepat itu juga kerumuman massa bubar. Orang-orang berdesak-desakan, raungan kendaraan bermotor, wajah-wajah yang beragam ekspresi. Mirip dengan situasi saat selesainya pertunjukan konser musik atau sepakbola. Lalu, panggung dan halaman masjid pun sepi kembali.

Pada saat itulah fikiran saya bergejolak. Banyak pertanyaan yang tiba-tiba meluap dalam otak. Saya ingin mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah, atau tidak tepat, atau apapun yang menurut saya tidak pada tempatnya. Sebagai muslim, memang saya tidak terlalu faham secara detail mengenai dalil-dalil Fiqh yang berkaitan dengan hukum cambuk, rajam atau potong tangan. Saya hanya menulis dalam konteks sosial berdasarkan apa yang saya lihat dan nyata.

Pertama, setting tempat pelaksanaan hukuman di mana para pejabat dengan santai melihat pelaksanaan hukuman tersebut, di bawah tenda yang teduh, duduk di kursi empuk, dengan makanan dan minuman terhidang di meja, kontras dengan massa yang harus berdesak-desakan dalam terik matahari sambil sesekali di halau oleh petugas karena dianggap tidak tertib. Para pejabat tersebut seakan-akan adalah pihak yang mempunyai otoritas penuh dengan segala macam aturan, membuat aturan, atau bahkan menentukan siapa-siapa saja yang pantas dihukum. Mereka seakan-akan adalah the untouchable, kebal dan bahkan mungkin suci dari segala tindak maksiat. Masih terlihat jelas kentalnya budaya feodalisme, di mana pejabat adalah gusti, raja, pihak yang mempunyai kekuasaan penuh dan berhak mendapat perlakuan istimewa bahkan dalam menonton sebuah pelaksanaan hukuman, sementara rakyat adalah kawula, abdi, bawahan yang harus rela berpanas-panas. Sebuah proses diskriminasi antara penguasa dengan rakyatnya, yang ironisnya terjadi pada pelaksanaan sebuah “ritus” yang bertujuan untuk menegakkan agama Islam yang tidak mengenal pembedaan status antara pemimpin dan rakyat.
Kedua, setting tempat pelaksanaan hukuman menunjukkan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk adalah sebuah tontonan atau pertunjukan yang harus disaksikan. Panggung, penonton, pelaku dan susunan acara menunjukkan jelas hal tersebut. Dalam pertunjukan drama atau teater, aktor adalah subyek yang menjadi pusat dan penonton adalah obyek yang berada di luar lingkaran.

Saya jadi teringat teori dramaturgi dari sosiolog Amerika Erving Goffman (1959). Goffman mengasosiasikan kehidupan seperti sebuah panggung drama. Ada "wilayah depan" (front stage) yang merupakan tempat individu atau suatu tim menampilkan peran tertentu untuk ditonton oleh publik atau masyarakat umum dan "wilayah belakang" (back stage) tempat atau peristiwa yang memungkinkan mereka mempersiapkan diri, merias dan berlatih sebelum tampil di wilayah depan. Goffman berpendapat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan kehidupan sebenarnya di belakang panggung (back stage). Seorang aktor saat di berperan di front stage akan berusaha untuk memainkan peran sebaik-baiknya, dibatasi oleh oleh konsep-konsep tertentu agar penonton memahami tujuan dari pertunjukan. Sedangkan saat di back stage, di mana tidak ada lagi penonton, sang aktor akan berperilaku berbeda sama sekali dengan karakter yang dimainkan. Sesuatu yang dipertontonkan dengan meriah di atas panggung itu biasanya sangat bertolak belakang dengan kondisi di belakang panggung. Apa yang dilihat oleh khalayak adalah dunia semu yang berakhir saat pertunjukan selesai.

Dalam konteks teori dramaturgi Goffman, pertunjukan hukum cambuk sudah direkayasa sedemikian rupa demi sebuah pesan tertentu. Peran aktor dalam hukum cambuk, yaitu para algojo, pejabat dan terhukum tidak sepenuhnya merepresentasikan perilaku mereka yang sebenarnya. Sang pejabat bukan orang yang sama sekali bersih dari maksiat, algojo tidak sekejam seperti saat mencambuk, dan terhukum tidak benar-benar jahat dalam kehidupan kesehariannya. Dan penonton pada akhirnya disuguhi sebuah drama yang bertolak belakang dengan realitas yang sesungguhnya.

Selain itu, pesan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan hukum cambuk kepada khalayak agar orang jera berbuat maksiat juga sebuah pandangan yang terlalu sederhana. Apa yang bisa di dapat dari tontonan sekilas lalu? Sudah terbukti bahwa keunggulan manusia modern yang penuh dengan prestasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi juga menyisakan paradoksnya sendiri. Kelemahan manusia modern saat ini adalah ketidakmampuan mencerap berbagai fenomena dan tanda yang ada di alam semesta ini dengan menggunakan intuisi dan hati nurani. Kelemahan yang diakibatkan kecanggihan akal manusia yang terlalu sibuk membuat benda-benda baru, mesin-mesin baru, penemuan-penemuan baru untuk kemudian menjualnya.

Kapitalisme (atau apapun anak kandung modernisme) telah membuat setiap detik kehidupan manusia disibukkan untuk membeli benda, menjual benda, memiliki benda, menikmati benda dan sebagainya. Akibatnya ribuan informasi yang diterima oleh otak, ribuan kata-kata yang terdengar oleh telinga, ribuan kata-kata yang terlontar dari mulut, ribuan benda-benda yang ditangkap oleh mata setiap hari menjadi sesuatu yang profan dan kosong. Semuanya ditangkap sebagai benda dan simbol, bukan ruh dan makna. Lalu benda dan simbollah yang dianggap utama dan diburu sebagai tujuan hidup. Dan agama yang sebenarnya lebih sarat dengan makna dan ruh pun dianggap sama dengan benda atau dibendakan, dikampanyekan, digembar-gemborkan, didakwahkan melalui kebanggan akan megahnya masjid dan gereja, jilbab, hukum cambuk, partai, baju, dan sebagainya.

Jika hanya simbol yang dikedepankan tanpa pernah ada komitmen untuk menggali makna dari simbol, maka menonton hukum cambuk yang diharapkan menciptakan efek jera tak ubahnya seperti menonton infotainment, iklan, sinetron atau pertandingan bola yang hadir setiap hari di televisi. Pada akhirnya, sebuah agama yang ajarannya ditegakkan dalam sebuah tontonan akan kehilangan esensinya, yaitu kedamaian yang dipetik dari cinta kasih kepada sesama, keteraturan yang didapat dari berbuat adil dan menghormati hak orang lain, dan keindahan yang tergambar dari kekhidmatan dan kepasrahan pemeluknya dalam setiap ritual ibadah.

Ketika agama hanya menjadi simbol dan tontonan, maka ia hanya menyisakan sesuatu yang terlihat, bukan sesuatu yang harus dicari dan digali. Cara keberagamaan yang menonjolkan simbol adalah keberagamaan yang sepotong-sepotong, dangkal dan selesai. Cara keberagamaan yang seperti itulah yang berbahaya karena bertindak berdasarkan aturan yang diyakini sudah final dari teks-teks kitab suci, tanpa menyediakan ruang untuk ijtihad dan melihat konteks yang ada. Di sini terdapat sebuah paradoks karena cara beragama yang dangkal juga mustahil mencapai apa yang disebut sebagai cara beragama yang kaffah (total, menyeluruh) sebagaimana yang sering dicita-citakan oleh para pendukung syariat Islam. Orang dianggap suci dan santri dari hitam atau putihnya peci yang dia pakai, tebalnya lilitan surban yang membelit kepala, jubah panjang, ratusan ayat yang di hafal, atau panjangnya jenggot yang ia pelihara. Agama sudah tegak jika ada hukum cambuk, polisi syariat, jilbab dan berbagai simbol lainnya.
Jika cara keberagamaan itu yang dipakai, maka tidak aneh jika judi, minuman keras, pencurian hanya dilihat sebagaimana memotong batang rumput liar yang mengganggu, bukannya dicabut sampai keakar-akarnya. Orang yang berjudi, minum minuman keras mencuri dan berzina dianggap sebagai orang yang memang bejat moralnya, tanpa melihat kompleksitas persoalan yang antara lain menyajikan realitas bahwa tindak kriminalitas adalah wujud ekspresi dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup yang makin tinggi.

Dan bahkan dalam pelaksanaan hukum cambuk tadi, bukankah paradoks Islam kaffah itu terjadi dalam pemisahan tempat antara penguasa atau pemimpin dengan rakyat biasa? Bukankah dalam Islam terdapat hadits yang mengatakan “…sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa”. Kenapa ulama yang hadir tidak meluruskan hal itu? Apakah mereka takut kehilangan hak istimewa mereka jika mereka menegur aturan yang di buat umara (pemimpin)nya?

Ketiga, berkaitan dengan hukum cambuk itu sendiri. Tujuan dari dari ditetapkannya hukum cambuk bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan masyarakat. Tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa judi, minuman keras, zina atau prostitusi dan tindak maksiat lainnya akan bisa hilang begitu saja. Dulu orang malu dan dianggap hina jika pernah menjadi narapidana dengan tato di badan atau pernah dipenjara . Nyatanya saat ini penjara tetap saja penuh dan tato malah menjadi gaya hidup. Di mana-mana kasus kriminalitas cenderung meningkat seiring dengan semakin sulitnya kehidupan ekonomi. Bisakah kebebasan yang terampas selama bertahun-tahun di gantikan dengan rasa sakit yang tidak seberapa dan rasa malu yang hanya berlangsung sesaat? Ketika di cambuk, mereka mungkin malu. Tapi bukankah rasa malu itu bisa hilang selama beberapa saat, dan kemudian orang bisa melakukannya lagi sebagaimana ada orang yang tidak jera keluar masuk penjara? Bukankah nanti ketika hukum cambuk menjadi acara yang sudah umum dan berlangsung setiap hari atau setiap minggu dengan jumlah terhukum yang banyak, orang menjadi terbiasa sebagaimana penjara yang tidak lagi menakutkan dan memalukan?

Terbukti, kenyataan di lapangan sungguh menunjukkan betapa kompleksnya persoalan. Hampir setiap hari di koran lokal Serambi Indonesia memuat berita tentang kasus khalwat, berjudi atau razia minuman keras. Tindakan para anggota WH (Wilayatul Hisbah) atau Polisi Syariat yang merazia kafe, warung-warung, dan tempat-tempat yang dianggap menjadi sarang maksiat juga dinilai cenderung arogan dan tanpa etika.

Lebih dari itu, persoalan utama adalah pelaksanaan syariat yang terkesan diskriminatif dan faktor mentalitas para penegak hukum itu sendiri. Di Bireun, seorang terhukum cambuk mengaku sudah membayar sejumlah uang kepada jaksa agar tidak dihukum cambuk, meski pada akhirnya ia tetap menerima hukuman itu (Acehkita, Juli 2005). Di Lhokseumawe, seorang anggota DPRD yang ketahuan berbuat mesum belum juga diproses meski kasusnya sudah terjadi selama setahun. Ada juga fakta tentang seorang terhukum yang berhasil lolos karena membayar sejumlah uang, atau fakta tentang melempemnya anggota WH jika mendapati pasangan yang berdua-duaan di tempat sepi ternyata adalah seorang aparat keamanan. Yang lebih menghebohkan adalah kasus tertangkapnya seorang anggota Polisi Syariat di Banda Aceh yang berbuat mesum di sebuah WC umum. Sampai saat ini tidak ada kejelasan proses hukum dari institusi Dinas Syariah yang selalu begitu getol menyerukan tegaknya syariat Islam tanpa pandang bulu.

Bukti-bukti di atas menunjukkan diskriminasi dalam pelaksanaan syariat Islam yang tidak menyentuh elit politik lokal di Aceh dan hanya menyentuh kasus-kasus kecil di masyarakat. Banyak yang bertanya apakah hukuman cambuk juga akan ditimpakan kepada pejabat yang terbukti korupsi, sementara terhukum cambuk dalam kasus yang saya saksikan di atas dihukum karena kedapatan berjudi senilai puluhan ribu rupiah. Belum lagi pendapat yang mengemukakan bahwa pelaksanaan hukum syariat Islam bernuansa politis dan rekayasa para elit politik tertentu sekedar untuk mencari simpati dan dukungan massa.

Jika hukum cambuk dianggap sebagai alternatif untuk menghilangkan penyakit-penyakit sosial di masyarakat yang tidak bisa ditangani oleh hukum positif, maka hasilnya adalah nol besar. Persoalannya bukan pada jenis hukuman, melainkan bagaimana hukum itu ditegakkan. Selain itu, penyakit sosial membutuhkan komitmen dari pemerintah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar dan menjadi kebutuhan publik. Pemerintahan bersih bebas KKN, penegakan hukum yang dimulai dari penegak hukum sendiri, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah kunci utama jika ingin meminimalisir kriminalitas dan penyakit masyarakat.

Melihat hukum cambuk secara langsung, saya seperti melihat wajah kita sendiri yang penuh sisi paradoks. Ada wajah-wajah pasrah dan kalah dari para terhukum, wajah-wajah puas para pejabat yang berharap mendapat simpati rakyat karena peduli dengan isu agama atau mungkin puas karena merasa telah berhasil mengalihkan perhatian masyarakat dari tindak korupsi yang dilakukannya, juga wajah-wajah gembira massa setelah menyaksikan sebuah “acara” yang belum pernah dilihat sebelumnya. Meriah dalam simbol, tapi setelah itu sunyi dan kosong. Semua kembali kepada dunianya masing-masing. Dan agama sesungguhnya bukanlah pertunjukan, juga bukan soal menang kalah…



Read more...

Quote of the day

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP